Telegraf – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Nadiem Anwar Makarim menegaskan Pancasila akan senantiasa menjadi ideologi bangsa.
Menurut Nadiem, pengajaran Pancasila bagi anak-anak perlu disempurnakan. Hal itu disampaikan oleh Nadiem dalam webinar ke IV PA GMNI yang bertema “Pendidikan, Riset, dan Teknologi untuk Mewujudkan Keadilan Sosial”, Jumat (07/05/2021).
Webinar itu menghadirkan narasumber antara lain, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN, Laksana Tri Handoko; Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM dan Ketua DPD PA GMNI DIY, Paripurna Poerwoko Sugarda serta Ketua Bidang Riset, Teknologi dan Informasi DPP PA GMNI/Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari dan dipandu oleh Ketua Bidang Ideologi DPP PA GMNI dan Guru Besar ITB Nanang Tyas Puspito.
“Pancasila akan terus menjadi falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. Kita perlu menyempurnakan cara mengajarkan Pancasila kepada anak. Selama ini, pendidikan Pancasila lebih banyak pada hafalan tanpa dibarengi contoh dan teladan nyata sehari-hari. Akibatnya, nilai dan gagasan mulia Pancasila sulit diinternalisasi generasi muda,” kata Nadiem.
Nadiem juga ingin mengubah agar pendidikan Pancasila menjadi lebih holistik dan kreatif. seperti dalam pembelajaran berbasis project-project sosial, yang nantinya akan membentuk pelajar Pancasila di lapangan.
Nadiem menjelaskan dari program tersebut diharapkan para pelajar dapat mempelajari keberagaman bisa lewat pertukaran pelajar.
“Mempelajari keberagaman bisa lewat pertukaran pelajar yang berbeda golongan, tingkat sosial ekonomi, agama, dan perbedaan lain. Mereka akan berbaur agar mereka tak hanya mencintai toleransi tetapi juga menjadikan toleransi bagian kehidupan sehari-hari,” imbuhnya.
Sementara itu menurut Kepapa BRIN, saat ini Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia setelah Brazil yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Dicontohkan, kenapa produk seni budaya perlu ditopang riset dan teknologi. Para perajin rotan tentu sulit bersaing di pasar global jika hanya menjual bahan mentah. Di satu sisi, produk kerajinan rotan bisa ditolak di pasar Eropa jika tidak memiliki sertifikasi keamanan produk. Jadi selain membuka peluang kreatif para perajin namun juga ada aspek riset dan teknologi agar produk budaya nasional diterima pasar.
“Fokus riset Indonesia ke depan pada digital, green, dan blue economy. Basisnya sumber daya lokal dan keanekaragaman hayati, geografis, serta seni budaya. Riset berperan penting dan menyokong keanekaragaman di Indonesia sehingga mempunyai nilai ekonomi,” kata Laksana.
“Dunia ke depan bukan lagi digital atau elektronik melainkan bioteknologi. Kita yang punya banyak koleksi biodiversity, harus lebih unggul dibanding negara lain. Oleh karena itu, kita perlu melakukan refocusing pada kekayaan alam dan budaya kita lewat dukungan riset yang kuat,” jelas mantan Kepala LIPI itu.
Sebagai lembaga baru yang memimpin arah baru riset dan inovasi Indonesia, Kepala BRIN menjelaskan arah dan target BRIN. Lembaga ini diarahkan untuk melakukan konsolidasi sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya tersebar di beberapa institusi pemerintah. BRIN juga menciptakan ekosistem riset standar global yang inklusif dan kolaboratif serta diharapkan dapat menghasilkan fondasi ekonomi yang berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan.
Targetnya antara lain konsolidasi lembaga riset utama pemerintah pada 1 Januari 2022, transformasi proses bisnis dan manajemen riset secara menyeluruh untuk percepatan peningkatan critical mass sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran iptek; menjadikan Indonesia sebagai pusat dan platform riset global berbasis riset berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman (hayati, geografi, seni budaya) lokal. Serta mendorong dampak ekonomi langsung dari aktivitas riset dan menjadikan iptek sebagai tujuan investasi jangka panjang dan penarik devisa.
Nara sumber lain, Paripurna Purwoko Sugarda, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM mendukung apa yang disampaikan Laksana Tri Handoko soal kemajuan bangsa berbasiskan keanekaragaman hayati. Ia menjelaskan kebutuhan energi di Indonesia yang sangat besar merupakan peluang untuk mengembangkan energi terbarukan (renewable energy). Indonesia punya potensi besar atas energi terbarukan seperti tenaga angin, air, ombak, tenaga surya, panas bumi, biomass, dan lain sebagainya.
“Agar menjadi pemenang bidang energi di tingkat ASEAN, Indonesia perlu mengembangkan biofuel dan biomass, mengembangkan strategi teknologi energi, mendorong energi terbarukan berbasis maritim, serta mendukung memperbarui limbah air sehingga dapat digunakan kembali,” jelasnya.
Bagi Paripurna, melahirkan teknologi hingga hilirisasi tepat guna bukanlah hal yang sederhana. Membutuhkan kolaborasi pentahelix, mulai dari institusi negara, lembaga riset, kolabolariasi dengan BUMN dan sektor industri lain, menguatkan startup tanah air, bahkan harus cerdik menghadapi kompetitor teknologi dari negara lain.
“Mindset nasionalisme teknologi itu harus kita alami. Fanatik terhadap teknologi dalam negeri harus ada serta mencegah terburu-buru membeli teknologi asing dengan alasan lebih murah,” ungkap Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu.
Sementara itu, Eva Kusuma Sundari, yang merupakan Ketua Bidang Riset,Teknologi, dan Informasi DPP PA GMNI, mengingatkan prinsip ajaran Bung Karno soal tidak boleh ada rakyat kelaparan, kemiskinan dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak boleh ada eksploitasi manusia atas manusia serta bangsa terhadap bangsa lain.
Eva merujuk pada survei pengembang perangkat lunak global (2020), sebagian besar pengembang adalah berjenis kelamin laki-laki 91,5%, perempuan hanya 8,5%. Realitas pekerjaan pengembangan perangkat lunak didominasi pria.
“Adanya problem kultur tentang rendahnya perempuan yang berkiprah di bidang teknologi karena mereka sejak kecil tidak dididik sebagai risk taker yang boleh salah mengambil keputusan. Sementara laki-laki waktu kecil dididik sebagai risk taker,” kata Eva.
Solusi mengatasi kesenjangan tersebut, menurut Eva Sundari, ialah perlunya dorongan agar pendidikan teknologi bisa diakses bagi perempuan dan anak miskin. Karena biaya pendidikan teknologi mahal, ada problem stigmatisasi terhadap perempuan dan anak miskin yang takut menjangkaunya. Hal ini harus diperangi agar mereka mendapatkan akses pendidikan dan teknologi yang inklusif. Kondisi ini juga terkait beban ganda yang dialami perempuan yang jatuh miskin di saat pandemi Covid-19 saat ini.
Photo Credit: PA GMNI dorong pemerintah menerapkan riset dan pengembangan serta pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila. SHUTTERSTOCK