YOGYAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Negeri Tiongkok telah menjadi pusat peradaban dunia sejak berabad-abad lalu. Dalam periode itu, agama Islam ternyata juga berkembang melalui peran para ulama di sana. Keberadaan agama Islam ini menjadi faktor penting yang berperan dalam mewujudkan hubungan baik antara Indonesia dan Tiongkok.
Hal ini mengemuka dalam seminar internasional “Dari Jalur Sutra hingga Nusantara: Sejarah, Perkembangan, dan Faktor Islam dalam Relasi Indonesia-Tiongkok” yang digelar Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta bersama Perhimpunan Indonesia–Tionghoa (INTI) di Kampus Terpadu UNU Jogja, Gamping, Sleman, Rabu (18/9).
Hadir membuka acara, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Najib Azca menyatakan agenda ini penting dalam konteks perubahan dunia yang sangat cepat saat ini.
“Saat ini terjadi perubahan kiblat peradaban dunia yang dulunya di Barat dengan negara Amerika Serikat dan Eropa sebagai pusatnya, namun sekarang bergerak ke Timur khususnya Asia. Di abad yang disebut Asian Century ini, posisi Tionghoa bersama Indonesia sangat penting,” paparnya.
Selain itu, acara ini penting karena menjadi upaya untuk menengok kembali sejarah dan mengambil inspirasinya untuk kemajuan di masa depan. “Salah satu sumber penting inspirasi itu adalah Tiongkok. Dalam Islam terdapat Hadits tuntutlah ilmu ke negeri Cina. Jadi sejak masa Nabi hidup, peradaban Cina sudah menjadi inspirasi dan suar bagi perkembangan ilmu pengetahuan,” ujar Najib.
Dalam sambutannya, Sekjen Perhimpunan INTI Candra Jap berharap seminar ini memberi wawasan dan pemahaman baru tentang relasi Indonesia-Tiongkok terkait faktor Islam. “Ide memajukan hubungan Indonesia dan Tiongkok ini diwujudkan di bidang pendidikan berupa beasiswa. Kami sudah memberangkatkan 300 anak-anak muda Indonesia untuk belajar secara cuma-cuma ke Tiongkok,” ujarnya.
Dalam seminar, Prof. Li Lin dari Department of Islamic Studies at the Institute of World Religions, Chinese Academy of Social Sciences, Tiongkok, menjabarkan babak-babak sejarah perkembangan Islam di Tiongkok sejak masa Dinasti Tang dan Song. “Pada tahun 651, datang utusan dari Arab ke Dinasti Tang. Hal ini dianggap oleh para sejarawan sebagai tanda masuknya Islam ke Tiongkok,” jelasnya.
Pada abad 14 di masa Dinasti Yuan sejumlah besar masjid dibangun. sistem pendidikan Jingtang Jiaoyu yang melatih imam dan mendidik umat Islam dalam pengetahuan agama berkembang di masa Dinasti Ming dan Qing. Di akhir Dinasti Qing dan awal Republik Tiongkok, para cendekiawan Muslim menganjurkan reformasi pendidikan agama Islam dan mendirikan sekolah-sekolah baru.
“Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, Muslim Tiongkok memperoleh hak politik yang setara. Keyakinan agama, aktivitas keagamaan, dan adat istiadat umat Islam dilindungi dan dihormati oleh hukum.
Wakil Rektor UNU Jogja Suhadi Cholil menjelaskan relasi Indonesia–Tiongkok yang hidup dalam masyarakat dan terekam di artefak lintas budaya, seperti arsitektur dan praktik kultural ala Islam di tempat-tempat bersejarah bagi Tionghoa, serta sebaliknya, di sejumlah daerah di Indonesia.
“Menarik melihat ada unsur-unsur Islam di jantung ibadah Tionghoa, seperti arsitektur Islam di kelenteng. Ornamen Tiongkok juga tidak asing di pusat-pusat budaya Islam, seperti ukiran naga di mimbar khotbah. Ini menunjukkan adanya kesetaraan dan saling hormat dalam tradisi yang berbeda,” katanya.
Dalam relasi global, Tiongkok memiliki jalur sutra sebagai jalur perdagangan dan pengembangan ekonominya. Sementara Indonesia juga punya kepentingan nasional melalui jalur rempah. “Peradaban hanya bisa dibangun dengan kolaborasi. Jalur sutra dan jalur rempah tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat dilakukan di situasi damai dan berperadaban. Relasi inilah yang harus dikedepankan Indonesia-Tiongkok,” tandasnya.