Telegraf– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi membentuk Departemen Pengaturan dan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Keuangan Syariah, serta melakukan pengalihan pengawasan Bank Digital melalui pembentukan Direktorat Pengawasan Perbankan Digital yang mulai berlaku efektif pada tahun 2026.
Kebijakan ini ditempuh sebagai langkah strategis OJK dalam merespons transformasi ekonomi nasional dan perkembangan pesat perbankan digital, sekaligus memperkuat stabilitas sistem keuangan melalui pengawasan yang lebih adaptif dan terintegrasi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, pembentukan departemen baru tersebut merupakan bentuk komitmen OJK dalam memperkuat peran UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
“Penguatan akses pembiayaan UMKM yang inklusif, pengembangan ekosistem keuangan syariah lintas sektor, serta pengawasan bank digital berbasis ketahanan digital menjadi fokus utama OJK untuk menjaga keseimbangan antara inovasi, stabilitas, dan perlindungan konsumen,” ujar Dian dalam acara peresmian di Jakarta, Jumat (19/12).
Dian menjelaskan, UMKM memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia dengan porsi mencapai 99 persen unit usaha dan 97 persen penyerapan tenaga kerja nasional. Namun demikian, hingga Oktober 2025, penyaluran kredit UMKM tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,11 persen.
Untuk mendorong pemulihan pembiayaan UMKM, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada UMKM, yang mewajibkan perbankan dan Lembaga Keuangan Non-Bank (LKNB) menyediakan skema pembiayaan yang lebih inklusif dan terjangkau.
Selain itu, OJK juga membentuk Komite Pengembangan Keuangan Syariah (KPKS) guna mempercepat pertumbuhan industri keuangan syariah agar dapat menjadi penggerak utama ekosistem halal dan keuangan sosial nasional.
Seiring dengan proyeksi nilai ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai USD 360 miliar pada 2030, OJK menilai diperlukan pengawasan yang lebih fokus terhadap bank digital.
Saat ini, bank digital dinilai memiliki kinerja keuangan yang relatif kuat, dengan tingkat permodalan di atas 30 persen serta rasio profitabilitas yang mencapai 2,5 kali rata-rata perbankan konvensional. Meski demikian, OJK menilai model bisnis bank digital memiliki karakteristik risiko yang berbeda dibandingkan bank konvensional.
Dian menjelaskan, terdapat dua model utama bank digital di Indonesia, yakni bank digital dengan model bisnis mandiri dan bank digital yang bersinergi dengan lembaga jasa keuangan lain atau perusahaan teknologi besar (BigTech).
Ke depan, pengawasan bank digital tidak hanya berfokus pada indikator keuangan, tetapi juga mencakup ketahanan dan keamanan digital, pengelolaan risiko pihak ketiga, serta perlindungan data nasabah.
“Pengawasan akan dilakukan secara komprehensif untuk memastikan kelancaran layanan perbankan digital, independensi pengurus bank, perilaku hubungan dengan nasabah, serta ketahanan sistem terhadap ancaman siber,” kata Dian.
Melalui pengalihan pengawasan ini, OJK berharap dapat menciptakan level playing field yang seimbang bagi industri perbankan, sekaligus tetap memberikan ruang inovasi bagi bank dalam bertransformasi menjadi bank digital secara penuh.