Telegraf, Jakarta – Denim merupakan material khas berwarna biru yang identik dengan gaya kaum muda yang tidak lekang dimakan waktu. Popularitas denim bermula ketika tiga aktor legendaris, Elvis Presley, Marlon Brando, dan James Dean kerap mengenakan denim di banyak kesempatan di dekade 50-an. Kala itu, mereka tengah menjadi sorotan publik karena merupakan ikon kaum muda.
Dalam film-film yang mereka bintangi seperti A Streetcar Named Desire atau East of Eden, denim hadir pada celana dan kemeja yang dipadukan dengan jaket kulit, yang pada awalnya merupakan material seragam untuk pekerja kasar.
Maju ke era ’90-an, jaket bermaterial denim berada pada puncak tren fashion yang menjadi incaran produksi label-label ternama seperti LeviStrauss sebagai pionir, Armani, Gucci, Calvin Klein, DKNY, Abercrombie & Fitch, hingga Guess. Di era inilah, denim mulai ‘naik kasta’ menjadi bagian dari produk high fashion.
Harga puluhan juta rupiah untuk satu potong celana denim tidak lagi menjadi gunjingan, melainkan rasa penasaran atas kreativitas dan cita rasa berkelas dari para desainer mode yang merancangnya.
Kini, di era milenium, pengolahan material denim pun kian berkembang secara progresif, tidak lagi sebatas pada bentuk celana dan kemeja. Denim juga mulai diterima sebagai bagian dari tren fashion terkini yang dapat dikenakan dalam berbagai suasana, bahkan untuk formal sekalipun. Estetika denim pun kian berani dimainkan, di mana terkadang mampu meleburkan batasan-batasan untuk tampil gaya, kreatif, dan berani. (Red)
Photo Credit : Shutterstock