Telegraf-Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih menghadapi tantangan struktural meski memiliki potensi yang sangat besar, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga kesiapan industri dan pembiayaan. Isu tersebut dibahas dalam EITS Discussion Series VII 2025 di Jakarta, Senin (15/12).
Hadir dalam diskusi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, M. Wahyu Jasa Diputra menyampaikan bahwa potensi EBT Indonesia mencapai sekitar 3.687 gigawatt, namun realisasinya masih belum optimal.
“Hingga Semester I 2025, bauran EBT nasional baru mencapai sekitar 16 persen dan masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi target Kebijakan Energi Nasional,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan utama pengembangan EBT meliputi keterbatasan jaringan transmisi, integrasi sistem kelistrikan antarwilayah, serta kesiapan industri dalam negeri. Pemerintah menargetkan investasi EBT lebih dari Rp1.600 triliun hingga 2034 untuk mendorong percepatan transisi energi.
Dari sisi keandalan sistem, Manager Pertamina NRE Chandra Asmara menilai energi terbarukan seperti surya dan angin masih bersifat intermiten, sehingga membutuhkan pembangkit pendukung yang fleksibel.
“Gas alam masih dibutuhkan sebagai penopang sistem kelistrikan selama periode transisi,” ujarnya.
Anggota Dewan Energi Nasional Dina Nurul Fitriah menambahkan, tantangan transisi energi tidak hanya dari sisi pasokan, tetapi juga meningkatnya konsumsi energi nasional, terutama sektor industri.
“Transisi energi harus dijalankan tanpa mengorbankan keterjangkauan dan akses energi bagi masyarakat,” tegasnya.
Pemerintah menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor agar pengembangan EBT dapat berjalan seimbang dengan ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi.