Telegraf – Banyak negara di seluruh dunia makin memperketat regulasi untuk mengendalikan paparan senyawa Bisfenol A (BPA). Indonesia pun akhirnya mulai mewajibkan peringatan label bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat.
Dalam lima tahun terakhir, negara-negara Eropa bahkan sudah bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan Bisfenol A (BPA) untuk kemasan makanan dan minuman. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari.
Regulasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah cukup transparan dengan mengeluarkan regulasi terkait pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat, setelah sebelumnya mendapatkan data tiga kali hasil pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021-2022, di mana didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13%, 3,45%, dan 4,58%.
Dalam sebuah diskusi bertajuk “Fomo Apa-Apa BPA Free” di Jakarta Selatan pekan lalu, Prof. Akhmad Zainal Abidin, pakar polimer dari ITB, mengkritisi pelabelan ‘BPA Free’ pada botol PET yang dinilai dapat menyesatkan.
Menurutnya, bahaya sebenarnya tidak hanya berasal dari BPA, tetapi juga dari bahan kimia lain seperti etilen glikol.
Akhmad, yang selama ini dikenal memiliki pandangan lunak terhadap bahaya BPA, juga menyatakan bahwa label harus lebih spesifik dan transparan terkait kandungan bahan kimia dalam produk.
Meskipun demikian, Akhmad mengakui potensi bahaya BPA jika kandungannya melebihi ambang batas yang aman.
“Jika jumlahnya besar, tentu ada risiko bahaya. Namun, sejauh ini jumlahnya tidak besar,” ujarnya.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa paparan BPA bahkan dalam jumlah kecil pun dapat berbahaya, seperti yang telah diakui oleh berbagai penelitian internasional.
BPOM telah mengeluarkan regulasi pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang setelah melakukan pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021-2022.
Hasilnya menunjukkan peningkatan kadar BPA yang bermigrasi ke air minum, dengan persentase yang terus naik setiap tahunnya, yakni 3,13 persen, 3,45 persen, dan 4,58 persen, melebihi ambang batas aman 0,6 ppm.
Di Eropa, tindakan pengawasan terhadap BPA jauh lebih ketat dibandingkan dengan Indonesia. Uni Eropa (UE) telah menurunkan batas migrasi BPA pada kemasan makanan dari 0,6 ppm pada 2011 menjadi 0,05 ppm pada 2018.Lebih jauh lagi, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) pada April 2023 merevisi batas asupan harian (Total Daily Intake/TDI) untuk BPA menjadi 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari, atau 20.000 kali lebih rendah dari batas sebelumnya yang ditetapkan pada 2015.
Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Anisyah, menjelaskan bahwa pengetatan regulasi di Uni Eropa menjadi salah satu alasan mengapa BPOM memutuskan untuk melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada di Indonesia.
“Asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini menjadi latar belakang kami dalam menilai ulang regulasi,” ujarnya.Uni Eropa bahkan telah mengambil langkah lebih jauh dengan melarang penggunaan BPA dalam produk-produk kemasan makanan dan minuman mulai akhir tahun 2024.
Sebanyak 27 negara maju yang tergabung dalam UE menyatakan bahwa setelah masa phase-out, BPA tidak lagi diizinkan untuk digunakan dalam produk-produk tersebut.Langkah ini menunjukkan bahwa risiko kontaminasi BPA dari kemasan ke makanan dan minuman dianggap sangat berbahaya dan perlu dihindari sepenuhnya.Sementara Indonesia masih dalam tahap penyesuaian, Eropa telah menetapkan standar yang jauh lebih ketat untuk melindungi kesehatan konsumen dari paparan BPA.