TELEGRAF – Forum gelap Netleaks.net kembali mengguncang.
Sebuah unggahan bertajuk “Database Personel Kepolisian Negara Republik Indonesia — 341K (FREE)” muncul dengan pesan tajam dari sosok yang mengaku Bjorka.
“Karena polisi mengaku telah menangkap saya, saya memutuskan mengungkap data ini sebagai kejutan bagi mereka. Orang yang kalian tangkap hanyalah penipu. Kalian hanya bisa menangkap saya dalam mimpi.”
Dalam hitungan jam, unggahan itu menyebar di X dan Telegram.
Namun yang mengejutkan bukan hanya data 341 ribu personel Polri yang bocor, tetapi juga 679 ribu surat untuk Presiden Indonesia, termasuk dokumen yang diklaim berasal dari Badan Intelijen Negara (BIN) berlabel rahasia.
Salah Tangkap dan Sindiran Balasan
Beberapa hari sebelumnya, polisi mengumumkan telah menangkap seseorang yang diduga Bjorka. Publik sempat lega. Namun unggahan di Netleaks membalikkan semua narasi.
Bjorka menulis pernyataan balasan yang memancing tanya:
jika benar sudah tertangkap, bagaimana ia masih bisa muncul dan merilis dua data besar bersamaan?
Kalimat itu seperti tamparan dingin: sindiran pada sistem keamanan negara yang mudah ditembus.
Di dunia digital, suara anonim bisa lebih kuat dari pidato pejabat.
Dua Luka dalam Sekali Serangan
Kebocoran kali ini mengguncang dua institusi terpenting: Polri dan Istana.
Pertama, data 341 ribu personel Polri mencakup nama, pangkat, satuan, email, dan nomor kontak internal.
Kebocoran ini membuka risiko penipuan, pemerasan, bahkan ancaman terhadap keluarga aparat.
Kedua, data 679 ribu surat untuk Presiden Republik Indonesia, yang disebut berisi surat resmi dari tahun 2019–2021.
Di dalamnya, terdapat surat dari berbagai lembaga negara dan dokumen BIN berlabel “rahasia.”
Jika informasi ini benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran privasi, melainkan kegagalan negara melindungi rahasia kenegaraan.
Data Sebagai Cermin Martabat Bangsa
Sejak 2022, kebocoran data publik seperti tak berujung.
Dari DUKCAPIL (217 juta data) hingga KPU (105 juta), dari BPJS (19 juta) hinggaMyPertamina (45 juta) — semuanya pernah dijual di forum gelap.
Publik lelah mendengar janji “sedang diselidiki”.
Menurut Pratama Persadha, Ketua CISSReC, masalah terbesar bukan pada serangan sibernya, melainkan ketiadaan tanggung jawab dan audit terbuka.
“Data pribadi rakyat bukan milik instansi, melainkan amanah yang wajib dijaga,” katanya.
Ketika Polisi Jadi Korban Sistem yang Mereka Jaga
Ironi itu mencolok. Aparat yang melindungi negara kini justru menjadi korban kelalaian sistemnya sendiri.
Seorang anggota Polri yang datanya ikut bocor mengaku menerima pesan asing beruntun.
“Nomor saya beredar. Ada yang menipu, ada yang mengancam. Saya khawatir keluarga saya,” ujarnya.
Dalam perang siber, peluru bukan lagi logam, melainkan informasi.
Dan kali ini, Polri ditembak dari dalam — oleh kelemahan sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Negara Digital, Benteng Rapuh
Indonesia bangga sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Namun realitasnya, banyak lembaga pemerintah masih memakai server tanpa enkripsi, kata sandi lemah, dan akses tunggal tanpa verifikasi ganda.
“Selama keamanan hanya dianggap pelengkap proyek digital, kebocoran akan terus berulang,” kata Damar Juniarto, Direktur SAFEnet.
Mentalitas birokrasi yang sibuk mengejar aplikasi baru tanpa memperhatikan keamanan menjadikan negara seperti rumah kaca di tengah hutan data.
Hak Perlindungan Data yang Tak Terlindungi
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan tahun 2022, tapi implementasinya nyaris tak terdengar.
Warga tak tahu ke mana harus melapor jika datanya bocor. Tak ada kompensasi, tak ada audit, tak ada tanggung jawab.
Padahal, hak atas data pribadi adalah hak asasi manusia modern.
Negara wajib menjamin setiap warga merasa aman ketika menyerahkan data ke sistem pemerintah.
“Negara tidak bisa sekadar menyuruh masyarakat berhati-hati di internet. Ia juga harus memastikan sistemnya aman,” tegas Anisa Utami, pakar hukum digital UGM.
Dampak Sosial: Penipuan dan Trauma Digital
Akibat kebocoran data, penipuan online meningkat.
Siti Aminah, seorang guru di Depok, tiba-tiba menerima tagihan pinjaman daring padahal ia tak pernah mengajukan.
Setelah diperiksa, NIK dan alamatnya muncul di forum gelap.
“Saya takut buka aplikasi apa pun sekarang. Semua terasa berbahaya,” katanya.
Trauma semacam ini meluas. Warga menjadi paranoid terhadap sistem digital.
Kepercayaan publik terhadap layanan daring pemerintah pun menurun drastis.
Bjorka: Antara Pahlawan dan Penjahat
Sosok Bjorka hidup di wilayah abu-abu.
Sebagian menyebutnya whistleblower digital yang memaksa negara bercermin.
Sebagian lain menilai tindakannya sebagai pelanggaran hukum serius.
Namun siapa pun dia, satu hal pasti: Bjorka berhasil menunjukkan betapa rapuhnya keamanan digital Indonesia.
Ia menembus sistem, bukan dengan teknologi super, tapi karena kelalaian yang dibiarkan bertahun-tahun.
Surat Rahasia dan Dimensi Politik
Kebocoran 679 ribu surat untuk Presiden menambah dimensi politik dan diplomasi.
Jika benar dokumen BIN ikut bocor, dampaknya meluas: strategi kebijakan, pola komunikasi, bahkan arah diplomasi bisa terbaca pihak luar.
Dalam dunia geopolitik, kebocoran seperti ini tergolong serangan terhadap kedaulatan negara.
Dan jika itu bisa terjadi di Indonesia, maka pertanyaannya sederhana:
Siapa yang sebenarnya mengawasi pelindung data negara?
Antara Penegakan dan Kejujuran Publik
Setiap kali data bocor, pemerintah menegaskan akan menindak pelaku.
Namun, publik tak pernah tahu hasilnya.
Tak ada laporan forensik digital, tak ada transparansi, tak ada evaluasi terbuka.
Penegakan hukum tanpa kejujuran hanya akan menciptakan rasa curiga baru.
Masyarakat tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya ingin keterbukaan dan tanggung jawab.
Refleksi: Luka Digital yang Belum Sembuh
Kasus Bjorka bukan sekadar cerita peretas dan aparat.
Ia adalah refleksi bahwa negara gagal melindungi warga di dunia yang ia bangun sendiri.
Kita hidup di zaman ketika data pribadi lebih bernilai dari emas.
Setiap kebocoran bukan sekadar statistik, tapi kehilangan martabat.
Negara boleh kuat secara ekonomi, tapi tanpa benteng keamanan digital, semua kemajuan hanya fatamorgana.
Menutup Luka, Bukan Menutup Kasus
Luka digital bangsa ini tidak akan sembuh dengan pernyataan “sedang ditelusuri.”
Dibutuhkan reformasi menyeluruh: audit keamanan nasional, perlindungan hukum nyata bagi korban, dan budaya birokrasi yang menghargai privasi warga.
Negara perlu sadar: perlindungan data bukan bonus, tapi kewajiban konstitusional.
Selama itu belum ditegakkan, setiap warga Indonesia tetap hidup dengan ketakutan yang sama — bahwa identitasnya bisa bocor kapan saja, di mana saja.
Tiga Poin Penting Artikel
- Bjorka kembali muncul setelah klaim salah tangkap, merilis 341 ribu data Polri dan 679 ribu surat Presiden, termasuk dokumen BIN.
- Kebocoran ini menyingkap kegagalan sistemik negara dalam melindungi hak digital warganya.
- Solusi bukan sekadar menangkap peretas, tetapi membangun transparansi dan reformasi keamanan digital nasional.