Cari
Sign In
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
Telegraf

Kawat Berita Indonesia

  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
  • Entertainment
  • Lifestyle
  • Technology
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Lainnya
    • Regional
    • Didaktika
    • Musik
    • Religi
    • Properti
    • Opini
    • Telemale
    • Philantrophy
    • Corporate
    • Humaniora
    • Cakrawala
    • Telegrafi
    • Telecoffee
    • Telefokus
    • Telerasi
Membaca Sebuah Kisah Prihatin
Bagikan
Font ResizerAa
TelegrafTelegraf
Cari
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
  • Entertainment
  • Lifestyle
  • Technology
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Lainnya
    • Regional
    • Didaktika
    • Musik
    • Religi
    • Properti
    • Opini
    • Telemale
    • Philantrophy
    • Corporate
    • Humaniora
    • Cakrawala
    • Telegrafi
    • Telecoffee
    • Telefokus
    • Telerasi
Punya Akun? Sign In
Ikuti Kami
Telegraf uses the standards of the of the Independent Press Standards Organisation (IPSO) and we subscribe to its Editors’ Code of Practice. Copyright © 2025 Telegraf. All Rights Reserved.
Opini

Sebuah Kisah Prihatin

Indra Christianto Jumat, 5 Maret 2021 | 23:21 WIB Waktu Baca 2 Menit
Bagikan
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). FILE/Abror Rizky
Bagikan

Di era 90-an, sekelompok anak baru gede beranjak remaja hang out di lantai atas Sarinah, yang saat itu menjadi bioskop Studio 21 paling mentereng se-Indonesia. Salah satunya kenal dengan anaknya Yapto.

Cuma karena kenal dengan anaknya Yapto, lagak-lagu abege-remaja itu langsung pede-nya nyundul langit.

Yapto dikenal sebagai Ketua Umum Pemuda Pancasila. Apalagi di era Orde Baru, organisasi kepemudaan ini dikenal dekat dengan rezim Soeharto.

Pokoknya baru punya temen yang kenal dengan anaknya Yapto, rasanya udah bisa petantang-petenteng ngajak berantem orang lain.

Masa berganti kekuasaan berganti jabatan berputar. Organisasi tersebut sudah tidak lagi ada di sentral kekuasaan negeri ini. Ada sih dekat-dekat juga, tapi tak lagi signifikan.

Segala sesuatu ada masanya, segala apapun di bawah langit, ada waktunya. Begitu kata Bibel.

Dulu SBY kenyang jadi penguasa 10 tahun, AHY kenyang jadi anak presiden untuk 2 periode. Ring 1 Partai Demokrat kenyang dengan 10 tahun berbagi kue kekuasaan. Dekat dengan Demokrat saat itu berarti dekat dengan penguasa. Mungkin kenal dengan office boy di kantor DPP PD rasanya sudah bisa petantang-petenteng ngaku-ngaku dekat dengan SBY.

Masa itu telah usai, kader-kader “terbaik” Demokrat banyak yang tergoda pengumpulan harta haram hingga masuk penjara lewat KPK.

Mantan presiden pun nampaknya juga masih belum rela benar turun tahta. Hingga menyiapkan anaknya untuk bisa masuk kembali ke istana negara. Segitunya….

Sudahlah pak tua…. partai itu bukan milikmu. Partai itu bukan perusahaan milik nenek moyangmu atau leluhurmu. Bukan partai keturunan keluarga. Partai itu didirikan oleh orang-orang yang kini sudah bukan siapa-siapa lagi di negeri ini. Menerima kekalahan partainya dalam politik kini.

Beratkah beban di masa tuamu ini? Sehingga masih harus melindungi putera sulungmu dari kursi pimpinan partai.

Mungkin apa yang kau tabur kini sedang kau tuai. Kau merebut dan mengakuisisi partai itu menjadi seakan-akan milik keluargamu. Sayangnya kau cuma inginkan kuasa tanpa memancangkan ideologi yang kuat untuk kader-kader partaimu. Kekuasaanmu di partai itu sebenarnya hanya “seakan-akan”, bukan sesungguhnya.

_______________

Oleh : Erry Subakti

Bagikan Artikel
Twitter Email Copy Link Print

Artikel Terbaru

Rock Ngisor Ringin Part #2 Jadi Ajang Kumpul Musisi Rock Tanah Air
Waktu Baca 4 Menit
Program FLPP Capai Rekor 263 Ribu Unit, BTN Dominasi Penyaluran Rumah Subsidi Nasional
Waktu Baca 4 Menit
BSN Resmi Beroperasi Usai Spin-Off dari BTN, Bidik Pertumbuhan Perbankan Syariah Nasional
Waktu Baca 3 Menit
Tradisi Warga Indonesia Dalam Merayakan Malam Tahun Baru di New York
Waktu Baca 6 Menit
OJK Bentuk Departemen UMKM dan Keuangan Syariah, Pengawasan Bank Digital Berlaku 2026
Waktu Baca 3 Menit

Keamanan Digital Adalah Tanggung Jawab Setiap Pengguna Teknologi

Waktu Baca 2 Menit

Keamanan Digital Kebutuhan Mendasar di Tengah Transformasi Teknologi

Waktu Baca 2 Menit

BTN Salurkan Bantuan Rp8 Miliar untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatera

Waktu Baca 3 Menit

OJK Raih Predikat Badan Publik Terbaik Nasional 2025, Tegaskan Komitmen Keterbukaan Informasi

Waktu Baca 4 Menit

Lainnya Dari Telegraf

Opini

Hak Presiden Atau Cawe-Cawe?

Waktu Baca 7 Menit
Opini

Menyelami “Mens Rea” Polisi

Waktu Baca 8 Menit
Opini

Dua Jalan ke Israel: Gus Dur di Jalur Merpati, Yahya Staquf Meniti Sayap Elang

Waktu Baca 9 Menit
Opini

Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945

Waktu Baca 11 Menit
Opini

Zeitgeist: Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Waktu Baca 7 Menit
Opini

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

Waktu Baca 6 Menit
Photo Credit : Presiden ke tujuh RI Joko Widodo (Jokowi). REUTERS/Edgar Su
Opini

Jokowi Sedang Menggali Kuburnya Sendiri?

Waktu Baca 6 Menit
Opini

Hukum Sebagai Panglima Bukan Kekuasaan

Waktu Baca 3 Menit
Telegraf
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Regional
  • Internasional
  • Cakrawala
  • Didaktika
  • Corporate
  • Religi
  • Properti
  • Lifestyle
  • Entertainment
  • Musik
  • Olahraga
  • Technology
  • Otomotif
  • Telemale
  • Opini
  • Telerasi
  • Philantrophy
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber

KBI Media

  • Akunku
  • Hobimu
  • Karir
  • Subscribe
  • Telegrafi
  • Teletech
  • Telefoto
  • Travelgraf
  • Musikplus

Kawat Berita Indonesia

Telegraf uses the standards of the of the Independent Press Standards Organisation (IPSO) and we subscribe to its Editors’ Code of Practice. Copyright © 2025 Telegraf. All Rights Reserved.

Selamat Datang!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?