Cari
Sign In
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
Telegraf

Kawat Berita Indonesia

  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
  • Entertainment
  • Lifestyle
  • Technology
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Lainnya
    • Regional
    • Didaktika
    • Musik
    • Religi
    • Properti
    • Opini
    • Telemale
    • Philantrophy
    • Corporate
    • Humaniora
    • Cakrawala
    • Telegrafi
    • Telecoffee
    • Telefokus
    • Telerasi
Membaca Pintu Masuk Intoleran dan Radikalisme
Bagikan
Font ResizerAa
TelegrafTelegraf
Cari
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Internasional
  • Entertainment
  • Lifestyle
  • Technology
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Lainnya
    • Regional
    • Didaktika
    • Musik
    • Religi
    • Properti
    • Opini
    • Telemale
    • Philantrophy
    • Corporate
    • Humaniora
    • Cakrawala
    • Telegrafi
    • Telecoffee
    • Telefokus
    • Telerasi
Punya Akun? Sign In
Ikuti Kami
Telegraf uses the standards of the of the Independent Press Standards Organisation (IPSO) and we subscribe to its Editors’ Code of Practice. Copyright © 2025 Telegraf. All Rights Reserved.
Opini

Pintu Masuk Intoleran dan Radikalisme

Fajri Setiawan Jumat, 8 Juni 2018 | 15:24 WIB Waktu Baca 5 Menit
Bagikan
Organisasi Front Pembela Islam (FPI). AP Photo/Binsar Baskara
Bagikan

Ini teori atau konsep sederhana yang sudah sering dilupakan orang, tertelan kecanggihan aneka pola analisa kekinian. Menjadi biasa, yang sederhana terlupakan, padahal itu adalah pangkal yang esensial. Jadi tulisan ini tidak untuk menyanggah berbagai analisa yang ada sekarang, tapi melengkapinya di bagian depan.

Pancaindera

Bukan hanya dalam terbentuknya intoleranradikalisme, pintu yang menghubungkan manusia dengan dunia luar (dimulai) melalui pacaindera. Dalam pengenalan, termasuk terjadinya proses pembelajaran. Sederhana saja. Kenal rasa pedas kan dari indera pengecap saat (misal) makan sambal. Soal pedas dirasa sebagai sedap/nyaman atau siksaan, itu masalah pemaknaan, yang akan kita bicarakan belakangan. Tapi bahwa pintu masuknya pancaindera.

Dalam fenomena terbentuknya intoleransiradikalisme, hal yang sama juga terjadi. Diawali dengan penangkapan pancaindera. Apa yang dilihat tentang keragaman warna kulit atau bentuk rambut, juga makan nasi, roti, sagu. Apa yang didengar suara tetangganya yang semangat meledak-ledak, sementara di keluarganya bicara lembut.

Semua itu baru contoh masuknya sesuatu dari dunia luar ke dalam dirinya. Pancaindera membawanya masuk. Bagi balita sebagai ëpenyerap ulungí, semua yang masuk itu diserap tanpa filter baik-buruk, salah-benar. Tapi jangan lupa, mahasiswa atau orang berumur pun masih banyak yang bersikap seperti itu. Pancainderanya terbuka lebar, jadi pintu (asal) masuk berbagai hal.

Sekalilagi, teori sederhana ini layak jadi penyegaran. Setelah pancaindera memasukkan sesuatu, hampir pasti terjadi pemaknaan terhadap apa yang ditangkap. Sederhana, gunakan saja pola kognitif-afektif-psikomotorik.

Kognitif itu adanya di kepala. Afektif di dada, psikomotorik di tangan dan kaki. Artinya kognitif itu di pikiran, lalu disikapi secara afektif dan psikomotorik itu eksekusi. Saat pancaindera memasukkan data tentang sambal terasi lewat lidah dan hidung, ada tekstur lembut, pedas, dan aroma khas.

Semuanya akan diolah, disikapi, dan dieksekusi. Bisa jadi ëkapok lombokí (bilangnya kapok kepedesan, tapi besoknya ketagihan mau lagi), bisa juga muncul pemaknaan yang lain. Pemaknaan ini bukan sesuatu yang bebas nilai, karena pengaruh pihak lain bisa saja dominan, khususnya mereka yang kurang trampil menganalisa dan menyikapi sesuatu. Bahkan ada yang dari penerimaan data dari pancaindera, langsung jalan pintas ke eksekusi.

Pancaindera Milenial

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut, perguruan tinggi negeri dari Jakarta hingga Jawa Timur sudah terinfeksi virus intoleran-radikalisme. Direktur Pencegahan BNPT, Hamli, bahkan tunjuk hidung: UI, ITB, IPB, Undip, Unair, ITS, dan lain-lain. Mantan rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, bahkan menyebutkan: ìSarang terorisme itu justru di perguruan tinggi umum”.

Gejala tersebut berangkat dari problem apa, memang belum ada hasil risetnya. Tapi secara common sense, bisa kita tinjau dari teori/konsep sederhana yang terpapar di atas. Asupan apa yang masuk lewat pancaindera mereka, dan bagaimana mereka memaknainya. Bila asupan pancaindera tersebut termaknakan Transformer atau Dilan, tentu beda cerita.

Panca indera milenial pintunya terbuka lebar. Apalagi di era medsos. Bisa mengontrol? Pasti dijawab: Tidak! Tapi apakah tidak bisa mengendalikan pemaknaannya?. Jawabnya : bisa! Dalam dunia komunikasi dikenal istilah insight. Definisi akademisnya terlalu panjang, tapi intinya insight adalah ìalasan seseorang untuk bertindak”. Sama-sama tindakan makan pecel, insight-nya bisa berbeda-beda. Ada yang vegetarian, sedang diet, makanan rakyat, berhemat karena belum dapat kiriman uang. Kalau kita tahu insight-nya, kita tahu bagaiman menggiring pemaknaan makan pecel itu. Kena di hati..!

Menutup panca indera dari berbagai asupan data memang tak bisa. Tapi mempengaruhi pemaknaannya dengan memahami insight-nya masih berpeluang untuk dilakukan. Kalau mau.

Intoleransi-radikalisme itu posisinya sudah di skopa pemaknaan afektif bahkan nyaris taraf eksekusi psikomotorik. Rantai harus dipenggal saat asupan masuk lewat pancaindera. Setidaknya, berikan pengalaman indah saat pancaindera menangkap (misal) keragaman. Sederhana. ìYuk bikin grup vokal, menyanyikan lagu-lagu daerah. Apuse… Gambang Suling… Ayam den Lapeh…. Oh keragaman yang indah! Aku suka, aku sukaa..! Rektor suka gak..?”. Ah beliau lagi sibuk.

_____________________

Oleh : Djito Kasilo. Pengajar Strategi Komunikasi di beberapa perguruan tinggi, konsultan komunikasi.

Bagikan Artikel
Twitter Email Copy Link Print

Artikel Terbaru

Rock Ngisor Ringin Part #2 Jadi Ajang Kumpul Musisi Rock Tanah Air
Waktu Baca 4 Menit
Program FLPP Capai Rekor 263 Ribu Unit, BTN Dominasi Penyaluran Rumah Subsidi Nasional
Waktu Baca 4 Menit
BSN Resmi Beroperasi Usai Spin-Off dari BTN, Bidik Pertumbuhan Perbankan Syariah Nasional
Waktu Baca 3 Menit
Tradisi Warga Indonesia Dalam Merayakan Malam Tahun Baru di New York
Waktu Baca 6 Menit
OJK Bentuk Departemen UMKM dan Keuangan Syariah, Pengawasan Bank Digital Berlaku 2026
Waktu Baca 3 Menit

Keamanan Digital Adalah Tanggung Jawab Setiap Pengguna Teknologi

Waktu Baca 2 Menit

Keamanan Digital Kebutuhan Mendasar di Tengah Transformasi Teknologi

Waktu Baca 2 Menit

BTN Salurkan Bantuan Rp8 Miliar untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatera

Waktu Baca 3 Menit

OJK Raih Predikat Badan Publik Terbaik Nasional 2025, Tegaskan Komitmen Keterbukaan Informasi

Waktu Baca 4 Menit

Lainnya Dari Telegraf

Opini

Hak Presiden Atau Cawe-Cawe?

Waktu Baca 7 Menit
Opini

Menyelami “Mens Rea” Polisi

Waktu Baca 8 Menit
Opini

Dua Jalan ke Israel: Gus Dur di Jalur Merpati, Yahya Staquf Meniti Sayap Elang

Waktu Baca 9 Menit
Opini

Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945

Waktu Baca 11 Menit
Opini

Zeitgeist: Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Waktu Baca 7 Menit
Opini

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

Waktu Baca 6 Menit
Photo Credit : Presiden ke tujuh RI Joko Widodo (Jokowi). REUTERS/Edgar Su
Opini

Jokowi Sedang Menggali Kuburnya Sendiri?

Waktu Baca 6 Menit
Opini

Hukum Sebagai Panglima Bukan Kekuasaan

Waktu Baca 3 Menit
Telegraf
  • Nasional
  • Ekonomika
  • Politika
  • Regional
  • Internasional
  • Cakrawala
  • Didaktika
  • Corporate
  • Religi
  • Properti
  • Lifestyle
  • Entertainment
  • Musik
  • Olahraga
  • Technology
  • Otomotif
  • Telemale
  • Opini
  • Telerasi
  • Philantrophy
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber

KBI Media

  • Akunku
  • Hobimu
  • Karir
  • Subscribe
  • Telegrafi
  • Teletech
  • Telefoto
  • Travelgraf
  • Musikplus

Kawat Berita Indonesia

Telegraf uses the standards of the of the Independent Press Standards Organisation (IPSO) and we subscribe to its Editors’ Code of Practice. Copyright © 2025 Telegraf. All Rights Reserved.

Selamat Datang!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?