Telegraf – Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia berkolaborasi dengan Komisi I DPR RI melaksanakan kegiatan Ngobrol Bareng Legislator, sebuah webinar yang bertujuan meningkatkan literasi digital masyarakat dengan tema “Budaya Digital”, pada Minggu (14/12/2025) secara daring.
Narasumber pada kegiatan ini adalah Ruth Naomi Rimkabu yang merupakan Anggota Komisi I DPR RI, Anggi Anggraeni, selaku Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang, serta Patrick Jonathans selaku Dewan Pakar PERSIARI.
Sebagai pembuka, Ruth mengajak peserta memahami kembali makna budaya sebagai landasan pembahasan budaya digital. Budaya dijelaskan sebagai cara hidup yang membentuk cara berpikir, bersikap, dan berperilaku, termasuk dalam pemanfaatan ruang digital yang semakin dominan.
“Budaya digital merupakan perwujudan cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan membangun relasi melalui teknologi digital dan internet.” katanya.
Media digital dipaparkan memiliki fungsi penting pada aspek sosial, pendidikan, dan ekonomi, mulai dari memudahkan komunikasi jarak jauh, mendukung pembelajaran tanpa batas ruang dan waktu, hingga menjadi sarana pemasaran dan transaksi ekonomi.
Ruth menegaskan bahwa budaya digital tidak dapat dipisahkan dari etika, karena etika menjadi pedoman untuk menghormati orang lain, menjaga privasi, serta menerapkan standar perilaku yang sama seperti dalam kehidupan nyata.
Ruth mengajak untuk membiasakan jejak digital yang positif agar ruang digital menjadi ruang yang aman, sehat dan produktif.
Sementara itu, Anggi Anggraeni, menyampaikan bahwa ruang digital telah berkembang menjadi arena budaya baru yang kompleks dan tidak dapat dipahami semata sebagai teknologi.
“Ruang digital membentuk pola interaksi sosial, praktik budaya, serta cara manusia membangun makna dan identitas. Beliau menjelaskan sisi positif perkembangan digital, antara lain percepatan komunikasi, terbukanya peluang usaha dan bisnis dengan biaya promosi yang lebih efisien, serta diseminasi budaya lokal melalui produksi konten yang semakin masif dan kolaboratif.” kata Anggi.
Fenomena budaya digital kontemporer seperti budaya meme, ekonomi kreator, dan aktivisme digital dinilai mampu mendorong kreativitas, edukasi, dan penguatan ekonomi masyarakat. Namun demikian, Ruth mengingatkan adanya tantangan yang perlu diantisipasi, seperti ketergantungan penggunaan gawai, paradoks keterhubungan, maraknya hoaks dan disinformasi, serta echo chamber yang dapat memicu perpecahan sosial dan politik. Oleh karena itu, literasi digital ditekankan sebagai kunci navigasi budaya digital yang mencakup kecakapan teknis, etika digital, pengendalian diri, dan kemampuan berpikir kritis.
Sedangkan, Patrick Jonathans, menegaskan bahwa internet tidak lagi dapat dipandang sebagai dunia maya semata, karena dampak komunikasi di ruang digital bersifat nyata dan dapat memengaruhi reputasi, relasi sosial, ekonomi, hingga aspek hukum.
“Perubahan ekosistem informasi dari era media konvensional yang lebih terkontrol oleh etika jurnalistik dan regulasi menuju era digital yang bergerak cepat, namun belum selalu diimbangi kesiapan budaya bermedia.” katanya.
Menurut dia, cara seseorang berbicara, berpikir, dan menyampaikan pendapat di ruang digital merupakan cerminan karakter yang akan dinilai publik. Maraknya hoaks, disinformasi, dan konten manipulatif, termasuk yang berbasis teknologi kecerdasan buatan, dinilai memicu reaksi instan dan framing opini.
Oleh karena itu, kejernihan berpikir atau mind quality menjadi hal yang sangat penting agar emosi tidak mendahului logika. Budaya verifikasi diperkuat melalui prinsip 3T, yaitu tahan dulu sebelum bereaksi, teliti dulu isi dan sumber informasi, serta telusuri dulu kebenarannya sebelum dibagikan.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Pada pertanyaan mengenai sikap anak pelajar dalam menghadapi budaya digital, dijelaskan bahwa isu pembatasan penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur telah menjadi perhatian global dan didasarkan pada riset dampak ketergantungan gawai terhadap perkembangan anak. Pendampingan keluarga, pemanfaatan fitur platform khusus anak, serta pembiasaan verifikasi informasi dipandang penting agar anak mampu memanfaatkan ruang digital secara bijak dan beretika. Pada pertanyaan terkait perlindungan data dari malware dan phishing, disampaikan pentingnya menghindari tautan mencurigakan dengan langkah block dan report, melakukan verifikasi tambahan terhadap pesan dari kontak yang dikenal, serta segera menghubungi pihak bank dan aparat penegak hukum apabila terjadi kerugian finansial. Sementara itu, pada pertanyaan mengenai upaya menangkal dampak negatif budaya digital, ditekankan perlunya penguatan literasi digital secara formal dan informal, kehati-hatian dalam membagikan data pribadi, serta tidak meminjamkan akun atau perangkat tanpa pengawasan.
Sebagai penutup, para narasumber menegaskan bahwa pembahasan budaya digital tidak hanya berfokus pada teknologi dan kecepatan arus informasi, tetapi juga pada nilai, etika, serta kualitas relasi yang dibangun di ruang digital. Cara berkomunikasi dan menyikapi perbedaan pendapat dinilai mencerminkan kedewasaan berdemokrasi dan peradaban bangsa. Melalui peningkatan literasi digital, kejernihan berpikir, dan kebiasaan verifikasi sebelum bereaksi, diharapkan ruang digital Indonesia dapat berkembang menjadi ruang yang cerdas, beretika, berempati, dan bertanggung jawab.