Perlunya Obat DAA Hadir Agar Penanggulangan Penyakit Hepatitis C di Indonesia Efektif

Oleh : A. Chandra S.

Telegraf, Jakarta – Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia. Pada terapi hepatitis C kronik terdapat penemuan Direct Acting Antivirals (DAA), yang merupakan sebuah kemajuan di bidang kesehatan. Pasalnya, tiap obat dalam golongan DAA memiliki tingkat tanggapan virologi berkelanjutan dengan angka kesembuhan rata-rata lebih dari 90 persen.

Saat ini ada beberapa inisiasi untuk mengadakan obat DAA di Indonesia, misalnya melalui pengadaan obat program oleh Kementerian Kesehatan, donasi perusahaan farmasi dan upaya untuk memasukkan DAA dalam Formularium Nasional karena sampai saat ini, hanya interferon pegilasi dan ribavirin yang masuk dalam Formularium Nasional.

Belum lagi mahalnya biaya diagnosa untuk pengobatan Hepatitis C seperti tes viral load untuk memulai pengobatan serta menguji efektivitas obat dan uji genotipe untuk mengetahui genotipe virus Hepatitis C di dalam tubuh pengidap. Walau sudah ada obat jenis DAA yang bisa bekerja pada setiap genotipe (pan-genotipe) yaitu jenis Daclastavir yang juga bisa dipakai untuk pengidap koinfeksi HIV dan Hepatitis C.

Namun karena berbagai kendala dan alasan tersebut, obat jenis ini masih belum selesai proses registrasi dan belum ada di rencana pengadaan obat Hepatitis C dari pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, dr. Irsan Hasan, Sp.PD-KGEH, selaku Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI.) menjelaskan bahwa keberadaan obat-obatan DAA untuk Hepatitis C menjadi hal yang perlu guna penanggulangan penyakit Hepatitis C di Indonesia.

“Obat-obatan DAA untuk Hepatitis C adalah penting untuk penanggulangan penyakit Hepatitis C di Indonesia, dan sudah selayaknya obat ini menjadi obat penting yang ditanggung oleh asuransi negara, dalam hal ini BPJS, oleh karena itu kami mendorong agar obat-obatan jenis DAA untuk Hepatitis C agar masuk ke dalam Formularium Nasional, supaya obat-obatan ini bisa menjadi obat yang ditanggung BPJS sehingga masyarakat luas yang membutuhkan obat ini bisa mengakses dengan mudah dan murah.” ujar dr. Irsan Hasan dalam press release yang diterima oleh telegraf.co.id.

Saat release ini diterima, obat-obatan DAA yang sudah teregistrasi dan masuk rencana program pemerintah adalah jenis Sofosbuvir, Simeprevir, dan Ribavirin. Simeprevir sendiri dianggap tidak efektif karena punya kontra-indikasi dengan obat-obatan ARV yang digunakan oleh mereka yang terinfeksi HIV.

Perlu diketahui, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI melalui Riset Kesehatan Dasar, 2013, melaporkan bahwa lebih dari 1,01% dari penduduk Indonesia, atau 3 juta orang terinfeksi Virus Hepatitis C (HCV), kebanyakan dari mereka adalah laki-laki yang berusia antara 20-40 tahun.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pengobatan yang standar untuk hepatitis C (HCV) adalah gabungan interferon (IFN) dengan ribavirin (RBV), yang dipakai selama 48 minggu. Sayangnya, tertuang dalam buku Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia, 2017, bahwa kombinasi tersebut menimbulkan efek samping yang berat seperti depresi, neutropenia, trombositopenia, anemia, kelelahan, demam, sakit kepala, dan nyeri otot, dengan tingkat kesembuhan yang rendah dengan rata-rata hanya 45 persen sehingga dinilai sangat tidak efektif. (Red)


Lainnya Dari Telegraf