Telegraf – Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium merilis laporan riset permasalahan sampah plastik di Indonesia yang menemukan kemasan plastik kecil yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomis dan mudah tercecer, seperti sasect, plastik kresek, bungkus mie instan dan air mineral kemasan gelas, yang mendominasi pembuangan akhir sampah.
“Hasilnya teridentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek, kata. Ahmad Safrudin,” kata Ahmad Safrudin, lead researcher Net Zero dalam Workshop Nasional Pengurangan Sampah dan Ekspos Riset Sampah di 6 Kota, Rabu (22/11).
Ahmad Safrudin mengatakan, keinginan prpdusen dalam menjalankan dua pilar yaitu EPR dan up sizing belum efektif.
“serpihan kemasan produk berbagai brand, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA di enam kota besar”. Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif,”tuturnya.
Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk.
Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi imbulan sampah.
Nila Kirana dari Litbang Kompas menjelaskan temuan lapangan tersebut sejalan dengan survei persepsi publik di enam kota atas persoalan sampah. “Dari survei Litbang Kompas di enam kota diketahui sampah dari kemasan produk makanan,-produk minuman, produk kecanukan dan kebersihan, dan produk kesehatan merupakan sampah kemasan yang dominan menurut persepsi masyarakat,” kata Nila Kirana.
“Jajak pendapat juga mendapati 77,5Y9 responden yangi tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen serta terdapat 75,7” responden yang tidak pernah mengumpulkan produk yang sampahnya dikumpulkan oleh produsen,” jelas Nila.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Vivien Rosa Ratnawati dalam sambutannya yang di wakili oleh perwakilah dari KLHK mengatakan menyambut bak temuan riset tersebut. “Kementerian menyambut baik riset yang dimaksudkan untuk memberkan input kepada Pemerintah dan para pihak terkait untuk mereview dan memberikan fokus untuk fektivitas pelaksanaan program pengurangan sampah,4 katanya.
“Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen sebenarnya ditujukap kepada para produsen agar mereka segera mengurangi kemasan produk yang sulit diura oleh proses alang, tidak dapat didaur atau digunakan ulang,” ujarnya.
Ahmad Safrudin menjelaskan audit investigasi sampah di ca kota berhasil menghadirkan potret faktual ngel laannya di tengah masyarakat.
“Pengamatan selama audit sampah di 6 kota menunjukkan belum ada praktik pengurangan sempah melalui pengumpulan dan pembuangan terpilah dengan berorientasi pemanfaatan sampah seoptimal mungkin,” katanya. “Semua masih berlaku sebagaimana adanya (buaness as usuni).”
Dia mengkatsi pemerintah Kabupaten/Kota yang menurutnya tidak menyiapkan sistem dan infrastruktur program pengurangan sampah dengan penempatan dan pengumpulan terpilah. “Inustatif warga baik pribadi maupun komunal di level RT/RW pupus ketika menyaksikan bahwa petugas sampah kembali menyatukannya (di gerobak sampah, di TPS, ds trak, di TPA) atas sampah hand piahan Sebenarnya, menurut Ahmad Safrudin, pemulung dengan jaringan lapak dan agen barang-barang bekas telah mandiri dalam penyerapan sampah berpotensi daur ulang dan guna “Namun karena aktvitas mereka morning bermotrif ekonomi bisa dimaklumi bila jenis sampah yg kurang/tidak bernilai ekonomis centering mereka terlantarkan, dibakar ditimbun ditanah kosong atau dibuang dikali.”
Selain itu, Ahmad safrudin mengungkapkan peran bank sampah di keenam kota tersebut masih belum signifikan lantaran melulu berorientasi pada sampah bernilai tinggi sehingga tidak berbeda dengan pelapak/pemulung yang sebatas melakukannua dengan motif ekonomi.
“Sebagian bank sampah hanya hadir di waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada kunjungan (pejabat, tama studi banding), project simulanr, dil. sehingga banyak sampah yang tidak terserap.”
Secara keseluruhan, Ahmad Safrudin menyatakan,
“Situasi di 6 kota menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih sebatas pada pengelolaan fisik semata (alat/tenaga kebersihan, bak sampah, gerobak/truk sampah, TPS, TPA) dan belum berimbang pada pembangunan participatory yang berorientasi pencegahan dan pengurangan. Sebagian besar pejabat yang mengelola sampah tidak memiliki sense of crisis terkait masalah sampah perkotaan, sehingga kebijakan yang diambil senantiasa hanya melakukan rutinisan dan pengulangan yang terbukti tidak efektif dalam mengelola sampah yang senantiasa meningkat volumenya dari tahun ke tahun”.
Terbukti, beban sampah menjadi besar dan bahkan kian mengarah menjadi bencana yang ditandai a.L kebakaran TPA di berbagai kota/kabupaten pada kemarau 2023 ini.