Telegraf, Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan di tengah situasi perekonomian global yang tidak mudah seperti sekarang ini, fokus APBN tetap akan mengutamakan perhatian terhadap masyarakat di bawah garis kemiskinan dan nyaris miskin.
Sri Mulyani menyatakan, kebijakan yang merupakan domain Kementerian Keuangan adalah dari sisi fiskal. APBN selama ini menjadi salah satu instrumen kebijakan ekonomi yang cukup mewarnai kebijakan fiskal, apakah dari sisi perpajakan, belanja negara, bahkan keharusan memangkas anggaran yang tidak terelakkan.
“Dari sisi kebijakan fiskal, ekonomi Indonesia tentu dikelola karena memiliki satu tujuan yang sangat spesifik yakni ciptakan masyarakat adil dan makmur. Konteks ini dari sisi di mana keadilan dan kemakmuran belum dinikmati. Mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan atau nyaris miskin adalah fokus kami. Perangi kemiskinan menjadi sangat penting,” kata Sri Mulyani dalam Seminar Prospek Ekonomi Indonesia 2017: Memetakan Sektor-Sektor Unggulan di Balai Kartini, Jakarta, Senin (19/12).
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, maka kesenjangan bisa menjadi penyakit yang justru bisa mengurangi momentum pertumbuhan ekonomi itu. Banyak negara menunjukkan bahwa ketika ketimpangan itu naik, maka pertumbuhan ekonomi bisa turun drastis dan berujung pada banyak ekses.
“Dalam ekonomi terbuka, kita tahu ekonomi kita akan tumbuh sehat dan bertahan jika kita punya basis kompetensi daya saing yang meningkat. Itu hanya bisa kalau kita punya produktivitas yang tinggi. Juga yang terpenting adalah bagaimana kita desain kebijakan ekonomi yang bisa perbaiki fundamental,” ujarnya.
Indonesia dari sisi penurunan kemiskinan, Sri Mulyani menuturkan, dari 17% di tahun 2005 menjadi 10,86% di 2016, namun upaya untuk menurunkan ke angka yang lebih rendah lagi masih menjadi tantangan. Sebab kedalaman dari kemiskinan tak hanya cukup diberikan cash transfer, akan tetapi bagamana menjaga fasilitas umum agar roda dari kemiskinan bisa dipotong.
“Ini sesuatu yang tak hanya sekadar satu kali policy, namun terus menerus. Kebijakan fiskal tak hanya soal pemberian subsidi beras, cash transfer, pendidikan dan kesehatan subsidi, namun investasi untuk basic services seperti air bersih dan sanitasi,” ucapnya.
Ia menambahkan, ketimpangan atau gini ratio Indonesia dari 0,35 pada 2006, naik menjadi 0,41 di 2011. Menurutnya hal ini menunjukkan di satu sisi pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh pesat, namun pertumbuhan ini dinikmati oleh kelompok 5% teratas saja.
“Masyarakat miskin sebetulnya juga menikmati pertumbuhan ekonomi, namun kalau dilihat dari proporsinya, itu sangat kecil. Pertumbuhan ekonomi juga harus dilengkapi berbagai keyakinan bahwa benefitnya bisa naikkan kemakmuran tanpa kurangi minat atau ambisi untuk maju. Untuk Indonesia dengan kenaikan gini ratio dalam kurun 6 tahun, kita harus perhatikan secara serius desain dari pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelasnya. (Red)
Photo credit : Antara/Zabur Karuru