Belakangan ini, media diramaikan dengan pemberitaan platform video berkonten tidak senonoh yang ada di aplikasi WhatsApp (WA). Dugaan konten porno yang bisa diakses gratis di aplikasi berbasis chatting yang dimaksud merupakan bagian dari fitur Graphics Interchange Format (GIF) untuk mengirim pesan. Konten tersebut tergolong mudah diakses oleh siapapun yang menggunakan aplikasi WA. Di situlah kemudian konten GIF berbasis video dewasa tanpa disaring (filter) sangat meresahkan orangtua karena dikhawatirkan mengganggu anak-anak.
Persoalan video tidak layak diakses oleh anak-anak sebenarnya bukanlah persoalan baru di media sosial. Konten bermuatan video dewasa tidak hanya berkelindan aplikasi WA. Sudah banyak aplikasi lain yang menyediakan hal seperti ini, bahkan gratis diakses. Hanya saja, ketika aplikasi yang digemari anak muda ini terkontaminasi, jagad media menjadi resah. Bahkan tidak jarang pegiat pendidikan turun tangan dan mengkritisi pemerintah yang dianggap lalai mengantisipasi hal yang tidak pantas.
Perkembangan dunia digital menawarkan serta memudahkan mengakses video apapun termasuk video yang tidak senonoh. Maka persoalannya bukan dimana video tersebut beredar. Namun kedewasaan kita dalam menanggapi video yang tidak pantas.
Menyalahkan pemerintah dan anak-anak zaman sekarang, atau bahkan pihak lain sama saja dengan menghindar diri dari realitas kesalahan. Bagaimanapun, era digital merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat. Jika kita menolak lahirnya era digital, itu sama saja dengan mengungkung diri dari dunia luar. Hanya saja, menghadapi dunia digital harus ada batas-batasnya. Lalu bagaimana batas-batasnya?
Proteksi
Terkait dengan hal itu, ada dua jihad yang dapat dilakukan, yaitu jihad proteksi dan jihad literasi. Jihad proteksi disini dilakukan oleh pemerintah dan orangtua. Pemerintah sebagai hak otoritas dan pemegang kendali regulasi, harus tegas menindak konten-konten yang bermuatan tidak pantas. Ketegasan inilah yang dibutuhkan oleh pemerintah dalam menangani dan memproteksi bangsa ini dari gelombang video yang tidak layak diakses. Sedangkan proteksi orangtua, bisa membatasi anak-anaknya mengakses internet. Jika memang diperlukan, anak di bawah umur tidak boleh memiliki aplikasi yang berpotensi disalahgunakan.
Proteksi pemerintah dan orangtua harus seimbang dan terintegrasi. Sebab, jika orangtua hanya mengandalkan pemerintah, sedangkan orangtua hanya berpangku tangan, tentu tidak akan pernah optimal dan cenderung timpang. Pemerintah hanya sebagai pengendali dalam aspek regulasi. Pemerintah sebagai penindak jika ada hal-hal yang tidak etis di media sosial. Sedangkan proteksi orangtua lebih signifikan dan mengena karena merupakan sosok terdekat ke buah hatinya. Dari segi integrasi, orangtua dapat melaporkan kejadian-kejadian yang tidak normal atau tidak bermoral di media sosial ke pemerintah. Dengan begitu, keduanya akan berjalan seimbang.
Kedua, jihad literasi digital. Dalam konteks jihad literasi digital, peran pendidikan terutama guru di sekolah sangat menentukan. Sebagai guru yang sedikit banyak paham literasi digital, dibutuhkan peran lebih untuk menularkan pemahaman mengenai literasi digital. Dalam kondisi ini, guru bisa memberikan pendidikan literasi digital, etika literasi digital, serta fungsi media sosial. Di tengah kondisi mendesak seperti sekarang ini, pendidikan literasi digital harus dicanangkan secara formal dan informal.
Secara formal, guru bisa memberikan pendidikan literasi digital di dalam kelas. Jika memungkinkan, sekolah juga mengadakan pelatihan pendidikan literasi digital yang meliputi guru dan murid. Sedangkan dalam ruang lingkup informal, guru bisa menyinggung pendidikan literasi dalam momen-momen seperti sekarang ini. Artinya, kehebohan video yang ada di konten WhatsApp dapat dijadikan sarana untuk mengingatkan siswa agar tidak mengakses karena menyalahi etika bermedia.
————————————————-
Oleh : Tri Pujiati MPdI. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Alumnus Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.