Telegraf – Maraknya pemberitaan terkait dampak kesehatan dari pengunaan jenis kemasan plastik antara polikarbonat atau PC dan polyethylene terephthalate atau PET. Kedua jenis kemasan plastik tersebut ditengarai memiliki risiko kesehatan bagi manusia karena menggunakan bahan kimia tertentu dalam proses pembuatannya.
Kemasan polikarbonat yang dikenal sebagai plastik keras atau kaku itu biasa digunakan sebagai galon isi ulang air minum 19 liter. Sementara, kemasan PET biasa digunakan untuk botol air minum ukuran 300 mililiter hingga 1 liter dan galon 15 liter.
Sejumlah penelitian mengungkap bahwa polikarbonat berbahan baku bisfenol A atau BPA berdampak terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen. BPA pada gilirannya berkaitan dengan gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, dan perkembangan kesehatan mental.
Sementara itu, PET dibuat dari, salah satunya, etilen glikol. Keracunan (konsumsi berlebih) etilen glikol bisa mengakibatkan sakit perut, sakit kepala, kejang, hingga gagal ginjal dan kerusakan otak.
Patut dicatat di sini bahwa semua dampak kesehatan tersebut, baik dari polikarbonat maupun PET, dapat terjadi dalam konteks bahan kimia pembentuk kedua plastik itu bermigrasi ke bahan pangan (makanan dan minuman) yang dikemas pada tingkatan tertentu dan disebabkan oleh pola perlakuan kita terhadap tiap-tiap kemasan (seperti dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu lama atau disimpan dekat benda berbau tajam).
Setidaknya sejak dekade kedua Abad ke-21, regulasi di sejumlah negara mulai membatasi, dan bahkan melarang, penggunaan kemasan plastik polikarbonat karena kandungan BPA di dalamnya. Pada 2018, misalnya, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj (bagian per juta) menjadi 0,05 bpj. Beberapa negara, seperti Perancis, Brazil, serta negara bagian Vermont dan Distrik Columbia di Amerika Serikat bahkan melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk air minum. Negara bagian California di Amerika Serikat mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA pada kemasan produk pangan olahan.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merancang peraturan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan plastik polikarbonat. Rancangan itu antara lain akan mewajibkan produsen air minum dalam kemasan polikarbonat untuk mencantumkan label “Berpotensi mengandung BPA” pada produknya.
Selain karena tren pembatasan penggunaan kemasan yang mengandung BPA di sejumlah negara, BPOM menempuh kebijakan tersebut setelah melakukan survei lapangan, baik di sarana produksi maupun peredaran, selama 2021-2022. Hasil survei lapangan itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj. Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Oleh karena itu, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, mendorong rencana pelabelan BPA untuk segera dilaksanakan. Dorongan ini berkaitan dengan masih adanya penolakan atas rencana itu dari kalangan industri air minum dalam kemasan.
“Ini efeknya (BPA) kan jangka panjang,” kata Pandu belum lama ini. “Kalau (BPA) tidak berdampak, kenapa negara maju sudah membatasi dan melarangnya. Langsung saja wajib labelisasi, kok takut pada industri.”
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tubagus Haryo, juga menyuarakan dukungan serupa. “Saya kira apa yang direncanakan oleh BPOM semata-mata untuk melindungi konsumsen dan sebetulnya juga melindungi pelaku usaha dari tuntutan (hukum) di kemudian hari.”
Berbeda dengan kandungan BPA pada polikarbonat, kandungan etilen glikol pada PET tidak memunculkan pengaturan (pembatan atau pelarangan), baik di dalam maupun luar negeri. Ini bukan karena tidak adanya penelitian lapangan terkait migrasi zat kimia itu dari kemasan PET.
Frank Welle, ahli kimia yang berfokus pada interaksi bahan kemasan dengan pangan dari University of Freiburg, Jerman, dalam makalahnya “The Facts about PET” menulis bahwa, jika dibandingkan dengan jenis plastik lain, PET lebih lengai (inert) atau tidak mudah mengalami perubahan kimia. Pada gilirannya, menurut Welle, monomer PET, seperti etilen glikol, hanya dapat bermigrasi dalam jumlah yang sangat kecil ke dalam pangan yang dikemasnya. Mengutip penelitiannya pada 2004, dia menunjukkan bahwa tingkat migrasi etilen glikol dari kemasan PET jauh di bawah batas standar yang ditetapkan WHO. Welle menyimpulkan bahwa nilai komponen berbahaya di dalam kemasan PET seperti etilen glikol dan antimon (yang hanya digunakan sebagai katalis) masih jauh di bawah batas standar apabila tidak dilakukan perlakuan khusus layaknya percobaan (seperti dipanaskan pada suhu dan jangka waktu tertentu atau direaksikan dengan bahan kimia tertentu).[]