Connect with us

Telerasi

Dari “Aek Kapuas” Sampai “Bengawan Solo”

Published

on

Aek Kapuas


Telegraf – Hari Sungai Nasional diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tanggal 27 Juli. Peringatan ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat agar lebih peduli terhadap sungai yang sedari dulu menjadi sumber penghidupan penduduk di sekitarnya.

Tak hanya itu, sungai juga menjadi sumber inspirasi bagi para musisi. Sederet lagu terlahir dari keindahan sungai-sungai di Indonesia. Memaknai lagu-lagu tersebut bisa menginspirasi kita untuk semakin mencintai sungai.

Lagu daerah dari Kalimantan termasuk termasuk paling banyak terinspirasi dari sungai karena pulau ini memang banyak dialiri sungai. Sebut saja lagu berjudul “Aek Kapuas” ciptaan Paul Putra Frederick dam Yan G. Lagu ini menceritakan pesona Sungai Kapuas di Kalimantan Barat.

Penggalan liriknya yang berbahasa Melayu berikut ini memperlihatkan bahwa keindahan sungai Kapuas begitu sulit terlupakan. Konon, orang yang meminum air dari sungai kapuas tidak akan bisa melupakan daerah Kalbar.

“Sungai Kapuas punye cerite… Bile kite minom aeknye… Biar pon pegi jaoh kemane… Sunggoh susah nak ngelupakkannye.”

“Aek Kapuas” juga menceritakan tentang sejarah Sungai Kapuas. Dalam penggalan selanjutnya tertulis bahwa dahulu sekeliling sungai itu dipenuhi hutan rimbun. Namun seiring berjalannya waktu, daerah itu berkembang menjadi kota yang terkenal, yakni Pontianak.

Sungai sepanjang 1.143 km yang tercatat sebagai sungai terpanjang di Indonesia tersebut memainkan peran penting bagi kehidupan penduduk, terutama bagi peradaban suku Dayak.

Mengalir dari Pegunungan Muller hingga ke Selat Karimata, sungai ini menjadi penghubung antar daerah. Kekayaan sumber daya airnya juga menjadi mata pencaharian para nelayan di sekitar sungai.

Sungai lain di Kalimantan yang melahirkan tembang adalah Sungai Mahakam. Sungai kedua terpanjang di Indonesia ini menjadi inspirasi lagu daerah “Balarut di Sungai Mahakam” karya Drs. Djuriansyah dan “Sungai Mahakam” ciptaan Drs. Roesdibyono.

Lirik pada kedua lagu tersebut sama-sama menggambarkan keelokan juga histori dari sungai yang mengalir sepanjang 920 km di Kalimantan Timur ini. Pada lagu “Balarut di Sungai Mahakam”, misalnya, terdapat lirik berbunyi:

“Sungai Mahakam… memecah buih… basinar putih… diayun angina puhun rumbia…”

Nama “Mahakam” sendiri diketahui berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kata “maha” yang berarti tinggi atau besar dan “kama” yang berarti cinta. Jadi, makna kata “mahakama” dapat diterjemahkan sebagai cinta yang sangat besar atau agung.

Sementara itu, lagu “Sungai Mahakam” juga menceritakan manfaat sungai ini sebagai jalur lintas perahu perahu yang membawa masyarakat sekitar menyebrang atau pun singgah di suatu tempat.

Kapal-kapal dari hulu sungai mahakam sering membawa hasil kekayaan daerah Kaltim seperti batu bara dan kayu. Bahkan, pemanfaatan sungai untuk transportasi kapal pembawa batu bara sudah dilakukan sejak tahun 1888 oleh Kesultanan Kutai Kartanegara.

Sungai yang bermuara di Selat Makassar itu juga menopang kebutuhan air bagi kurang lebih 3 juta penduduk di Kota Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat. Melalui pengolahan oleh PDAM, penduduk kota bisa menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.

Apalagi, Sungai Mahakam juga menjadi habitat bagi hewan air yang kini telah langka keberadaannya, yaitu Pesut Mahakam. Selain itu, lumba-lumba air tawar juga bermukim di sungai ini.

Tak hanya menginspirasi pemusik daerah. Aliran sungai juga membanjiri para musisi nasional dengan kreatifitas. Pada era 1960-an, Alfian Rusdi Nasution mempopulerkan lagu berjudul “Sebiduk di Sungai Musi”.

Single tersebut sempat menjadi hits pada eranya, mengisahkan tentang cinta yang berawal dari Sungai Musi dengan sepenggal lirik syahdu seperti berikut ini:

“Terpesona aku melihat wajahnya… Tatkala aku duduk di dekatnya… Sebiduk seiring kali menyeb’rang… Berperahu ke seb’rang sungai Musi.”

Lalu, jauh ke belakang saat penjajahan Jepang, lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang sang maestro keroncong Nusantara, berhasil memikat pecinta musik dalam negeri hingga daratan Asia setelah tentara Jepang ikutan mempopulerkannya.

Hingga kini, musisi luar negeri masih sering menembangkan lagu ini dengan beragam sentuhan musikalitas lain. Lisa Ono, merupakan salah satu penyanyi asal Jepang pernah membawakan lagu ini, yang videonya masih bisa diakses via Youtube.

Komponis musik kerakyatan, Sutanto Mendut pernah berujar bahwa “Bengawan Solo” ialah salah satu karya Gesang yang menunjukkan melodi dan syair yang relatif sederhana, tetapi memiliki makna mendalam.

“Bengawan Solo itu berbicara tentang perasaan-perasaan Solo, geografi Solo, sejarah Solo, lingkungannya, tentang dia sendiri yang orang Solo. Beliau melihat dirinya berhadapan dengan sejarah dan mencatat apa yang terjadi, mewakili lingkungannya,” kata Sutanto.

Namun sekarang, nasib sungai terpanjang di Pulau Jawa ini cukup tragis. Bengawan Solo tercemar parah, yang terlihat kian mencolok pada musim kemarau. Airnya tak layak jadi bahan baku air, warnanya berubah merah pekat akibat mengandung logam berat.

Dampak pencemaran akibat limbah tersebut di antaranya gangguan pasokan air bagi 24.000 pelanggan dua perusahaan air minum di Surakarta dan Blora, Jawa Tengah. Habitat sungai pun rusak, ikan-ikan mati terpapar limbah.

Dari identifikasi Pemprov Jawa Tengah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, limbah cair berasal dari industri tekstil, alkohol (ciu), dan peternakan babi baik skala kecil atau besar. Bentuknya berupa limbah cair dan padat.

Pada 2018, riset Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menunjukkan ada tumpukan sampah popok yang dibuang di Bengawan Solo, tepatnya di Jembatan Gawan, Sidoharjo, Sragen. Lebih dari 1.500 popok ditemukan.

Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, mengatakan sampah popok tergolong residu yang tak bisa diolah dan dimanfaatkan lagi. Sampah ini seharusnya ditempatkan di sanitary landfill TPA.

Oleh karena itu, momen Hari Sungai Nasional sepatutnya menjadi waktu bagi kita berpikir sejenak, sambil meresapi lagu-lagu tentang sungai-sungai indah di Indonesia.

Semoga kita tergerak untuk bisa mencintai sungai yang merupakan penopang kehidupan makhluk hidup, salah satunya dengan cara tidak membuang sampah ke sungai. (Mela)


Photo credit : Aek Kapuas doc gencil.news


 

Advertisement
Click to comment

Telerasi

OPINI: Pajak Karbon Sebagai Bentuk Transisi Energi Hijau

Published

on

Carbon Tax Ilustration. Foto: MIT News

Penulis: Fadlan Ahmad Rafiiqi & Fauzan Achmad

Dalam era perubahan iklim yang semakin mendesak, banyak negara dan organisasi internasional telah mengusulkan dan menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu kebijakan yang sering dibahas adalah carbon tax, yaitu pajak yang dikenakan pada emisi karbon dari aktivitas manusia.

Pajak Karbon atau carbon tax merupakan pajak yang dikenakan atas penggunaan bahan bakar berbasis karbon seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Menurut IBFD International Tax Glossary (2015), pemungutan Pajak Karbon adalah sebagai biaya tambahan bagi bahan bakar fosil yang memproduksi eksternalitas negatif yang merusak lingkungan. Peraturan terkait Pajak Karbon dipercaya bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara, terutama dengan keadaan pandemi Covid-19. Pajak Karbon juga dapat meningkatkan daya saing newrenewable energy (energi baru terbarukan) dengan menambah biaya produksi energifosil seperti batubara.

Pajak Carbon Carbon tax adalah sebuah kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pada dasarnya, carbon tax membebankan biaya tambahan pada bahan bakar fosil berdasarkan jumlah karbon dioksida yang dihasilkan saat pembakaran. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mendorong perusahaan dan individu untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Penerapan carbon tax dapat memiliki beberapa manfaat. Pertama, ini memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan untuk mengurangi emisi karbon mereka melalui investasi dalam teknologi hijau atau penggunaan energi terbarukan. Kedua, carbon tax menciptakan sumber pendapatan baru bagi pemerintah yang dapat digunakan untuk mendukung proyek-proyek lingkungan dan penelitian tentang energi terbarukan. Ketiga, carbon tax dapat membantu mengubah perilaku konsumen dengan mendorong penggunaan energi yang lebih efisien.

Seberapa penting Carbon Tax Pajak karbon memiliki peran yang penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pajak karbon itu penting:

  1. Mengurangi Emisi Karbon: Pajak karbon dirancang untuk memberikan insentif ekonomi kepada perusahaan dan individu agar mengurangi emisi karbon. Dengan memberikan harga pada emisi karbon, pajak karbon mendorong pengurangan emisi dan mengubah perilaku konsumsi dan produksi menuju pilihan yang lebih ramah lingkungan.
  2. Mendorong Inovasi Teknologi: Pajak karbon dapat menjadi pendorong bagi inovasi teknologi dan pengembangan sumber energi bersih. Dengan meningkatkan biaya penggunaan sumber energi berbasis karbon, pajak karbon mendorong perusahaan untuk mencari solusi yang lebih efisien dan berkelanjutan, seperti energi terbarukan dan efisiensi energi.
  3. Mengurangi Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Pajak karbon dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon. Dengan meningkatkan biaya penggunaan bahan bakar fosil, pajak karbon mendorong peralihan menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
  4. Mengurangi Dampak Perubahan Iklim: Perubahan iklim memiliki dampak yang serius terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Pajak karbon membantu mengurangi dampak tersebut dengan mengurangi emisi karbon dan mendorong keberlanjutan. Dengan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim, pajak karbon berkontribusi pada kesejahteraan jangka panjang.

Dampak Positif Penerapan Carbon Tax di Indonesia Ketika membahas dampak positif penerapan pajak karbon di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berikut adalah beberapa dampak positif yang mungkin terjadi:

  1. Pengurangan Emisi Karbon: Penerapan pajak karbon dapat menjadi insentif bagi perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi karbon. Dengan memberikan beban pajak pada kegiatan yang menghasilkan emisi tinggi, perusahaan akan cenderung mencari cara yang lebih ramah lingkungan dan efisien dalam menggunakan energi. Hal ini dapat mendorong peralihan dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan, serta mendorong inovasi teknologi yang berkelanjutan.
  2. Pendapatan untuk Investasi Lingkungan: Penerimaan dari pajak karbon dapat digunakan oleh pemerintah untuk membiayai program-program perlindungan lingkungan dan investasi dalam energi terbarukan. Dengan adanya pendapatan yang stabil, pemerintah dapat meningkatkan upaya dalam mengurangi emisi karbon dan memperkuat infrastruktur yang berkelanjutan.
  3. Peningkatan Kesadaran Lingkungan: Penerapan pajak karbon dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif emisi karbon terhadap lingkungan. Dengan adanya beban pajak, individu dan perusahaan akan lebih berpikir dua kali sebelum menggunakan energi berbasis karbon. Hal ini dapat mendorong perubahan perilaku dan pola konsumsi yang lebih ramah lingkungan.
  4. Peningkatan Kualitas Udara dan Kesehatan: Dengan mengurangi emisi karbon, pajak karbon dapat membantu meningkatkan kualitas udara dan mengurangi polusi. Udara yang lebih bersih dapat memiliki dampak positif pada kesehatan masyarakat, mengurangi risiko penyakit pernapasan dan masalah kesehatan terkait polusi udara. Namun, perlu diketahui bahwa penerapan pajak karbon harus dilakukan dengan bijaksana dan memperhatikan dampak sosial-ekonomi yang mungkin terjadi. Diperlukan kebijakan yang adil dan dukungan bagi sektor-sektor terdampak untuk memastikan transisi yang lancar.

Dampak Negatif Penerapan carbon Tax di indonesia Selain dampak positif, ternyata ada juga dampak negatif dari penerapan carbon tax di indonesia, Berikut adalah beberapa dampak negatif yang mungkin terjadi:

  1. Beban Pajak pada Industri: Penerapan carbon tax dapat memberikan beban pajak tambahan pada industri, terutama yang masih bergantung pada energi berbasis karbon. Hal ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing perusahaan di pasar internasional. Terutama bagi industri yang sudah beroperasi dengan margin keuntungan yang tipis, carbon tax dapat menjadi beban yang berat.
  2. Dampak Sosial-Ekonomi pada Masyarakat: Carbon tax juga dapat berdampak pada konsumen dan masyarakat umum. Peningkatan biaya energi dapat menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat. Terutama bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, kenaikan harga energi dapat memberikan beban yang signifikan.
  3. Ketimpangan Regional: Penerapan carbon tax di Indonesia mungkin menghasilkan ketimpangan regional. Daerah yang bergantung pada sumber daya fosil atau industri berbasis karbon mungkin lebih terdampak daripada daerah yang memiliki energi terbarukan atau industri yang lebih ramah lingkungan. Diperlukan kebijakan yang adil untuk mengatasi ketimpangan ini.
  4. Potensi Relokasi Industri: Jika carbon tax di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, ada risiko perusahaan-perusahaan memilih untuk merelokasi operasi mereka ke negara dengan kebijakan lingkungan yang lebih ringan. Hal ini dapat mengurangi investasi dan lapangan kerja di Indonesia.
  5. Dampak pada Sektor Pertanian: Penerapan carbon tax juga dapat berdampak pada sektor pertanian, terutama pada penggunaan energi dalam pertanian modern. Kenaikan biaya energi dapat meningkatkan biaya produksi pertanian dan dapat mengurangi daya saing produk pertanian Indonesia di pasar global. Namun, perlu diketahui bahwa dampak negatif ini bukan mutlak terjadi dan dapat diatasi dengan kebijakan yang tepat, sehingga dampak negatif ini harus dilihat dalam konteks jangka panjang. Penerapan carbon tax juga dapat mendorong inovasi, investasi dalam energi terbarukan, dan mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih merugikan.

Kesiapan Indonesia Dalam Penerapan Carbon Tax Sebagai Bentuk Transisi Green Energi Saat ini, Hampir semua negara di dunia sedang berupaya menangani isu lingkungan yang disebabkan oleh banyaknya emisi karbon. Lalu jika terus dibiarkan akan menciptakan perubahan iklim yang ekstrim hingga pemanasan global. Melihat hal tersebut, Indonesia berpartisapasi untuk ikut serta dalam mengurangi emisi karbon secara nasional sebagai usaha untuk membantu membatasi terhadap kenaikan suhu rata-rata global, yaitu dibawah 2°%c sampai 1,5°%C dari tingkat suhu pra-industrialisasi. Namun, untuk memenuhi komitmen tersebut, pemerintah mempunyai rencana untuk menerapkan Carbon Tax sebagai Upaya penurunan emisi karbon di Indonesia. Penerapan Carbon Tax yang diterapkan memiliki tujuan utama, yaitu untuk mengurangi emisi karbon yang ada di bumu dan membuat Masyarakat beralih untuk memakai energi alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk mewujudkan green energy. Lalu, tujuan selanjutnya dari Carbon Tax adalah untuk membuat Masyarakat mau menerapkan kegiatan ekonomi hijau rendah karbon. Dan Carbon Tax memiliki fungsi sebagai alat fiskal yang akan meningkatkan pendapatan negara melalui pembayaran pajak yang diterapkan dengan kebijakan Carbon Tax.

Disisi lain, penerapan Carbon Tax terhadap subjek pajak, akan berdampak pada pribadi maupun industri yang akan menimbulkan pro dan kontra. Jika Carbon Tax diterapkan di Indonesia, akan menimbulkan keresahan kepada Masyarakat karena akan adanya kenaikan harga barang yang dijual di pasaran. Hal tersebut bisa terjadi Ketika Carbon Tax dikenakan kepada industri atau Perusahaan yang menghasilkan emisi CO2 dalam aktivitas produksinya. Dampak biaya produksi di industri yang dikenakan Carbon Tax tersebut meningkat, maka harga barang yang dihasilkan dan dijual kepada Masyarakat pun ikut meningkat. Dalam situasi tersebut, Carbon Tax yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat, justru membawa kerugian terhadap Masyarakat. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan persiapan lebih lanjut mengenai Carbon Tax di Indonesia, mulai dari kesiapan Masyarakat, mekanisme penerapan, dan melihat kondisi perekonomian yang ada.

Continue Reading

Telerasi

Komunitas Langkah Berbagi dan Pusdiklatnas Gelar Historical Hunt of Indonesia

Selaras dengan tagline kegiatan “Historical Hunt of Indonesia chapter Jakarta,” Aruman berharap kegiatan semacam ini bisa diselenggarakan di seluruh provinsi di Indonesia.

Published

on

Foto : Komunitas Langkah Berbagi Bersama Pusat Pendidikan dan Pelatihan Nasional Selenggarakan Program Literasi Digital Bertajuk Historical Hunt of Indonesia di Kota Tua dan Kepulauan Seribu. (Doc.Ist)
Foto : Komunitas Langkah Berbagi Bersama Pusat Pendidikan dan Pelatihan Nasional Selenggarakan Program Literasi Digital Bertajuk Historical Hunt of Indonesia di Kota Tua dan Kepulauan Seribu. (Doc.Ist)

TELEGRAF – Meningkatkan pemahaman sejarah Indonesia melalui karya konten video, Komunitas Langkah Berbagi bersama Pusat Pendidikan dan Pelatihan Nasional (Pusdiklatnas) menggelar program Historical Hunt of Indonesia yang didukung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, mulai tanggal 27 hingga 29 Oktober 2023, dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 2023.

Menurut Handiyono Aruman, Ketua Komunitas Langkah Berbagi, dari 260 peserta yang mendaftar, hanya 45 yang berhasil lolos seleksi dan pra-pelatihan melalui platform zoom.

“Kegiatan ini menjadi simbol menuju Indonesia Emas 2045,” katanya.

Aruman berharap peserta yang berhasil dalam kegiatan ini akan membagi pengetahuan dan keterampilan mereka di bidang konten video sejarah kepada masyarakat lainnya.

Selaras dengan tagline kegiatan “Historical Hunt of Indonesia chapter Jakarta,” Aruman berharap kegiatan semacam ini bisa diselenggarakan di seluruh provinsi di Indonesia.

Ketua Pusdiklatnas, Drs. Suat Zawawi, S.H., menekankan pentingnya peran pemuda dalam menciptakan karya dan inovasi untuk mendorong kemajuan Indonesia.

Ia menyatakan, “Pemuda harus menjadi pemberani, menciptakan karya dan inovasi terdepan untuk Indonesia maju.”

Dalam kegiatan Historical Hunt of Indonesia, peserta menjelajahi Kawasan Kota Tua Jakarta untuk merekam objek-objek bersejarah dalam bentuk video pendek berdurasi 1 hingga 3 menit, yang kemudian diunggah di akun sosial media Instagram mereka masing-masing.

Mereka juga dibimbing oleh profesional di bidang videografi untuk memahami teknik pengambilan gambar, penyuntingan video, dan aspek-aspek teknis pembuatan video.

Asisten Deputi Karakter Pemuda Kemenpora, Dr. Amar Ahmad, M.Si., mengajak pemuda untuk terus berkembang dan menciptakan karya terbaik sebagai wujud cinta terhadap tanah air Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa peran pemuda dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 sangat penting dan mendorong mereka untuk memberikan kontribusi positif dengan karya-karya terbaik.

Melalui kegiatan ini, diharapkan para peserta akan memiliki literasi digital yang baik dan dapat berperan sebagai promotor utama dalam memperkenalkan sejarah Indonesia melalui karya-karya terbaik yang mereka hasilkan.

Continue Reading

Telerasi

IIGCE 2023: Menciptakan Masa Depan yang Berkelanjutan dengan Mengoptimalkan Sumber Daya Geothermal

Published

on

Picture: Dari kiri ke kanan: Harris Yahya, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE, Prijandaru Effendi, Ketua API, dan Dion Murdiono, Ketua Pelaksana IIGCE 2023.

Telegraf – Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan & Konservasi Energi (EBTKE) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menggelar acara tahunan di industri panas bumi, The 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023.

Acara ini merupakan kesempatan bagi para profesional dan pelaku industri untuk berkumpul, berdiskusi, dan berbagi pengetahuan mengenai pengoptimalan sumber daya panas bumi di Indonesia yang belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Tema yang diangkat pada IIGCE tahun ini adalah “A Call for Geothermal Resources Optimization”, yang mengajak berbagai pihak untuk memfokuskan kembali pada pengoptimalan sumber daya panas bumi di Indonesia.

Melalui IIGCE, API berkomitmen untuk memainkan peran aktif dalam pengembangan sektor panas bumi di Indonesia serta terus bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk pengembangan proyek panas bumi, berbagi praktik terbaik, dan kebijakan yang mendukung pengoptimalan sumber daya panas bumi di Indonesia.

Dalam sambutan Ketua Pelaksana The 9th IIGCE 2023, Dion Murdiono, disampaikan bahwa acara ini dapat dijadikan momentum untuk memfokuskan kembali pada pengoptimalan panas bumi di Indonesia.

Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan kemandirian energi. Acara ini juga bersamaan dengan Pertemuan Ilmiah Tahunan API yang ke-23 sehingga para profesional dapat berpartisipasi dalam technical paper presentation, workshop, dan field trip ke lapangan pembangkit panas bumi di Salak atau Sarulla Geothermal Power Plant.

Dalam kesempatan ini, Ketua Umum API, Prijandaru Effendi menyampaikan bahwa inisiatif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya panas bumi harus dilakukan sedini mungkin, untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang potensi energi panas bumi di Indonesia serta bagaimana kita dapat mengoptimalkan sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan energi yang berkualitas tinggi dan berkelanjutan.

Melalui IIGCE, diharapkan dapat memperkuat komitmen Indonesia dalam pengembangan panas bumi, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan di sektor panas bumi, meningkatkan investasi, dan memperkuat jaringan bisnis dan hubungan internasional.

The 9th IIGCE 2023 akan menjadi wadah bagi para akademisi dan profesional untuk membahas isu sosial, keekonomian, dan teknologi di bidang panas bumi. Terdapat kegiatan workshop yang akan menghadirkan instruktur yang berkompeten dalam bidang perkembangan teknologi panas bumi.

Continue Reading

Telerasi

Program BNN Indonesia Bersinar Kenapa Meredup?

Published

on


Telegraf – Badan Narkotika Nasional (BNN) di Indonesia yang kini memiliki fasilitas setingkat menteri, seakan menjauh dan enggan melibatkan LSM serta media massa sebagai bagian dari program kerjanya. Kepala BNN yang terdahulu seperti Ahwil Lutan hingga Anang Iskandar dan Budi Waseso selalu melibatkan media hingga masyarakat merasakan kinerja BNN. Namun, kini, kesinambungan atau keberlanjutan program kegiatan yang telah dilakukan untuk menjaga integritas serta profesionalitas aparatur mulai dipertanyakan di masyarakat.

Ketum Ridma Foundation mengkritisi kinerja Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini. Ia menambahkan bahwa BNN di masa sekarang, menjauh dan sepertinya enggan melibatkan LSM serta media massa sebagai bagian dari program kerja. Berbeda saat BNN belum punya fasilitas setingkat menteri, Kepala BNN yang lalu seperti Ahwli Lutan hingga Anang Iskandar dan Budi Waseso, yang sedemikian rupa melibatkan media massa, hingga masyarakat merasa kinerja BNN terasa.

Dalam menjalankan tugas pemerintah di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol, BNN harus terus melakukan terobosan strategis untuk peningkatan dan pemerataan layanan publik BNN di seluruh wilayah. Kiprah BNN harus dirasakan masyarakat.

Pemerintah pada 4 Juli 2019, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 47 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), menyetarakan hak keuangan dan fasilitas BNN. Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres ini untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi BNN guna optimalisasi pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

BACA JUGABNN Setingkat Menteri. Sudah Tahu Belum?

Kunci sukses melaksanakan tugas penanganan permasalahan narkoba sangat tergantung pada kemampuan masyarakat. Diharapkan bahwa organisasi semacam BNN, dapat mengintegrasikan atau mengkolaborasikan berbagai potensi cegah narkoba di masyarakat, sehingga BNN dapat memenuhi tugas pemerintahnya dengan lebih baik lagi. Budi Jojo, yang juga penggagas Desa Cegah Narkoba hingga menerbitkan koran dinding di desa, sebagai bagian edukasi bahaya narkoba, mengingatkan pentingnya semangat untuk menyelamatkan bangsa dari bahaya narkoba.

Perpres ini merubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 23 Tahun 2010, diantaranya Pasal 60 menjadi: Kepala BNN merupakan Jabatan Pimpinan Tinggi Utama (sebelumnya jabatan struktural eselon I.a, red); Sekretaris Utama, Deputi, dan Ispektur Utama merupakan jabatan struktural eselon I.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (sebelumnya jabatan struktural eselon I.a, red).

Untuk Direktur, Inspektur, Kepala Pusat, Kepala Biro, dan Kepala BNNP merupakan jabatan struktural eselon II.a atau Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (sebelumnya jabatan struktural eselon II.a, red); Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat, Kepala Bidang, dan Kepala BNNK/Kota merupakan jabatan struktural eslon III.a atau Jabatan Administrator (sebelumnya jabatan struktural eselon III.a, red).

Sedangkan Kepala Subbagian, Kepala Subseksi, dan Kepala Subbidang merupakan jabatan struktural eselon IV.a atau Jabatan Pengawas (sebelumnya jabatan struktural eselon IV.a, red).

Kepala BNN sebagaimana dimaksud diberikan hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri, bunyi Pasal 62A Perpres ini. Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada 8 Juli 2019 oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly.

Dipertegas saja bahwa Kepala BNN pertanggungjawabannya (langsung) ke presiden. Status BNN ditingkatkan seperti BNPT yang langsung di bawah presiden. (BNN) menjadi setingkat kementerian.

Artinya, lembaga ini garis koordinasi lebih linear dengan kementerian-kementerian. Diperlukan karena sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan negara melawan kejahatan dan penyalahgunaan narkotika.

Keunggulan lain dari peningkatan BNN sejajar dengan kementerian adalah politik anggaran yang tentunya akan turut meningkat. Nah!!

Continue Reading

Telerasi

Pelabelan BPA Bentuk Perlindungan Pemerintah Tehadap Masyarakat

Published

on

By


Telegraf – Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang mengatakan pelabelan risiko Bisfenola A (BPA)—bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan—adalah bentuk nyata perlindungan pemerintah atas potensi bahaya dari peredaran luas galon guna ulang di tengah masyarakat.

“Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarat. Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi,” kata Rita dalam sebuah webinar bertajuk “Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK” pada Kamis, 2 Juni.

Rita menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.

“Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum,” kata Rita menyebut sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.

Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Dia bilang saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.

“Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat),” katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. “Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang.”

Rita juga menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.

Continue Reading

Telerasi

Belum Banyak Tahu, Pernikahan Dini Ternyata Melanggar Hak-Hak Perempuan

Published

on

By

Hak-Hak Perempuan


Telegraf – Ternyata banyak perempuan yang belum memiliki akses sepenuhnya untuk mengambil keputusan terhadap tubuhnya sendiri, salah satunya memutuskan kapan akan menikah atau memiliki anak. Padahal perempuan seharusnya memiliki hak penuh dan hak ini harus dijamin oleh negara.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, menyebutkan bahwa perempuan memiliki hak dalam bidang kesehatan.

Artinya, perempuan berhak mendapatkan kesempatan sama untuk melahirkan secara aman. Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan. Hak ini berlaku untuk semua perempuan.

Apalagi, Indonesia juga telah mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1984 yang kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Meski demikian, pada kenyataannya tak semudah itu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pernah menyatakan bahwa masih banyak perempuan di dunia yang belum memiliki hak akan tubuhnya. Hampir setengah dari 57 negara berkembang di mana perempuan masih belum bisa menggunakan haknya.

“Bahkan jutaan wanita belum bisa menentukan dirinya mau pakai apa dalam urusan kontrasepsi. Belum merdeka untuk menentukan bahwa keputusan ada pada dirinya untuk mau hamil atau tidak hamil. Belum sepenuhnya memiliki kekuatan apakah dirinya berhak atau belum menikah,” kata Hasto dikutip dari Republika, Jumat (2/7/2021).

Pasalnya otonomi tubuh perempuan sangat berkaitan erat dengan kesehatannya. Hasto mencontohkan ketika perempuan dipaksa menikah pada usia muda, kesehatan mental dan fisik mereka sangat berpotensi terganggu. Hal semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Peneliti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari menyampaikan, faktor pendorong perkawinan dini ternyata cukup banyak dan yang paling tinggi adalah faktor sosial sebanyak 28%.

Perempuan kerap terpaksa menikah dini akibat dorongan keluarga atau lingkungan yang melabeli mereka sebagai “perawan tua” atau “tidak laku”, pada usia yang sebenarnya masih terbilang remaja. Hal ini berdampak pada mental anak sehingga mereka tergesa-gesa menikah, padahal secara fisik dan psikologis belum siap.

Child Marriage Report yang disusun oleh Badan Pusat Statistik, Bappenas, dan Unicef menyebutkan bahwa pada tahun 2018 sekitar 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Secara total ada sekitar 1,2 juta anak yang melakukan praktik ini.

Bayangkan pada usia masih belasan mereka harus menanggung beban di luar kesiapan usianya. Apalagi, kehamilan dini juga menjadi penyebab tertinggi kematian ibu saat melahirkan.

Hal tersebut diamini oleh Hasto. Pernikahan usia muda sering kali menimbulkan risiko kematian ibu. Perempuan muda masih memiliki panggul yang sempit sehingga kerap terjadi persalinan yang macet lalu menyebabkan pendarahan. Akhirnya, kematian ibu pun tidak bisa dihindari, yang menyedihkan bila diikuti dengan kematian bayi.

Selain itu, dampak negatif dari pernikahan dini juga berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi anak perempuan. Menurut Hasto, hubungan seksual yang terlalu dini bisa menyebabkan masalah kesehatan yang berbahaya seperti kanker mulut rahim.

“Itu kan mereka tidak mengerti bahwa sebetulnya mulut rahim kita masih sangat immature. Kalau mulut rahimnya masih immature, kemudian dilakukan hubungan layaknya suami istri itu kan repot sekali. Dalam hal ini terjadi kanker mulut rahim,” ucap Hasto.

Dari aspek psikologis pun, pasangan dini cenderung belum siap. Mereka seringkali mengedepankan ego masing-masing. Terlebih lagi pasangan muda belum kuat secara ekonomi sehingga menyebabkan perdebatan dalam rumah tangga.

Pada masa pandemi ini, keharmonisan rumah tangga sedang masuk dalam ujian maha berat. Perekonomian yang mandek, layanan kesehatan yang sulit diakses, dan kondisi sosial yang mulai terguncang bisa menimbulkan stress dan menyebabkan keretakan dalam rumah tangga.

BKKBN mencatat sekitar 2,5% dari 20.400 responden yang merupakan pasangan usia subur, menunjukkan mereka mengalami stres dan terjadi cekcok antara suami dan istri selama pandemi.

“Sehingga pertimbangan bahwa kematian ibu dan kematian bayi menjadi indikator derajat kesehatan bangsa belum mendapatkan perhatian khusus. Oleh karenanya, masukan dari para pakar itu sangat penting agar kedepan kita bisa merumuskan kebijakan khusus di masa pandemi ini,” tutur Ketua BKKBN ini.


Photo credit : ilustrasi primocanale.it/Mela


 

Continue Reading
Advertisement
Advertisement

MUSIK

Advertisement
Advertisement

TELEMALE

Advertisement

Lainnya Dari Telegraf

close