Telegraf – Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia berkolaborasi dengan Komisi I DPR RI melaksanakan kegiatan Ngobrol Bareng Legislator, sebuah webinar yang bertujuan meningkatkan literasi digital masyarakat dengan tema “Budaya Digital”.
Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu, (12/12/2025)
Narasumber dalam diskusi ini adalah Ruth Naomi Rimkabu, selaku Anggota Komisi I DPR RI, Syariful, selaku Dosen Psikologi Universitas Bina Bangsa Indonesia (UNIBI), serta E. Rizky Wulandari, selaku Dosen STIKOSA AWS.
Dalam sambutanya Ruth Naomi mengajak seluruh peserta untuk memahami kembali makna budaya sebagai landasan pembahasan budaya digital. Beliau menjelaskan bahwa budaya bermakna budi atau akal, yaitu cara hidup yang berkembang dalam masyarakat dan diwariskan lintas generasi.
“Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya menjadi contoh bahwa budaya berperan penting dalam membentuk cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Berangkat dari pemahaman tersebut,” katanya.
Ruth menegaskan bahwa budaya digital merupakan perwujudan cara manusia berinteraksi, berperilaku, berpikir, dan berkomunikasi dalam masyarakat yang menggunakan teknologi digital dan internet, di mana teknologi digital bekerja berbasis sistem biner.
Dia juga memaparkan peran media digital dalam aspek sosial, pendidikan, dan ekonomi, mulai dari kemudahan komunikasi instan, dukungan pembelajaran lintas ruang dan waktu, hingga perluasan pemasaran produk, layanan keuangan digital, serta akses informasi ekonomi.
Pada bagian penting paparannya, dia menekankan bahwa budaya digital tidak dapat dipisahkan dari etika, karena etika menjadi pedoman berinteraksi di ruang digital sebagaimana standar perilaku di ruang nyata. Beliau mengingatkan pentingnya tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya, tidak merugikan pengguna lain, serta membiasakan komentar yang positif dan membangun, karena jejak digital mencerminkan karakter seseorang. Sebagai penutup, beliau mengajak peserta menanamkan budaya dan etika digital yang baik agar ruang digital menjadi aman, sehat, produktif, serta membentuk lingkungan digital yang beradab dan saling menghargai.
Sementara itu, Syariful yang menjelaskan budaya digital dari perspektif psikologi. Syariful menyoroti perubahan pola interaksi manusia akibat pergeseran dari komunikasi tatap muka menuju komunikasi virtual melalui pesan teks, emoji, dan voice note yang berlangsung cepat dan instan. Menurut beliau, perubahan ini dapat mengurangi kedalaman emosional dalam komunikasi dan membuat individu lebih sulit memahami konteks empati, sehingga meningkatkan risiko miskomunikasi dan kesalahpahaman. Fenomena ini banyak terjadi pada generasi Z, namun juga dialami generasi lain, termasuk milenial dan ibu rumah tangga, karena intensitas penggunaan media digital yang tinggi. Beliau menekankan bahwa budaya digital memengaruhi proses kognitif, emosi, motivasi, serta pembentukan konsep diri, termasuk kecenderungan pencitraan diri, kebutuhan validasi sosial, dan perbandingan sosial yang dipengaruhi sistem likes, komentar, dan algoritma. Dia juga menyoroti pentingnya kesadaran terhadap rekam jejak digital yang bersifat permanen dan memengaruhi persepsi sosial, sehingga dapat memunculkan kecemasan reputasi, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar komunitas, serta tuntutan etika dalam bermedia. Beliau menyimpulkan bahwa budaya digital perlu dibangun dengan penguatan empati, literasi emosi, serta pengendalian diri agar ruang digital menjadi ruang sosial yang sehat, suportif, dan menjaga kesehatan mental.
Sedangkan E. Rizky Wulandari menyampaikan pandangannya bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat penggunaan teknologi digital dan media sosial yang sangat tinggi. Intensitas tersebut menjadikan ruang digital bukan sekadar sarana komunikasi, melainkan ruang sosial yang memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berekspresi masyarakat.
Rizky menyoroti bahwa perbedaan generasi sering memicu perdebatan di ruang digital, terutama di kolom komentar, yang kerap disertai rendahnya etika dan empati. Beliau menekankan bahwa penguatan etika bermedia perlu dilakukan agar kebebasan berekspresi tidak berubah menjadi hoaks, ujaran kebencian, penghinaan, maupun perundungan siber. Dalam paparannya, beliau menjelaskan empat pilar literasi digital, yakni kecakapan digital, keamanan digital, budaya digital, dan etika digital, yang harus dipahami secara utuh karena saling melengkapi.
Dia menegaskan pentingnya membangun budaya digital positif yang bertumpu pada toleransi, empati, dan kesopanan, serta membiasakan pengendalian emosi sebelum berkomentar. Selain itu, dia mengajak peserta untuk merespons informasi secara rasional dengan membiasakan verifikasi sumber dan konteks sebelum mempercayai maupun menyebarkan konten.
Rizky juga menampilkan contoh kasus penyebaran hoaks untuk menegaskan bahwa informasi palsu dapat menimbulkan kerugian sosial, psikologis, hingga konsekuensi hukum, sehingga setiap individu memiliki tanggung jawab menjaga kualitas ruang digital.