Telegraf – Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi prioritas dalam akselerasi upaya transisi energi, berbagai upaya mitigasi emisi global untuk mengantisipasi perubahan iklim dengan mencanangkan target mencapai net zero emission di tahun 2060.
Namun pengembangannya juga tak mudah. Minimnya ketersediaan infrastruktur, teknologi dan kebutuhan dana investasi yang relatif lebih besar ketimbang energi fosil, kerap menjadi batu sandungan dalam mengakselerasi pengembangan EBT dan butuh proses.
“Karenanya, perlu komitment yang kuat dari pemerintah dan para stakeholders terkait sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM),” hal tersebut di ungkapkan Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute, dalam diskusi bertema “Transformasi Hijau Menuju Masa Depan Energi yang Lebih Bersih dan Berkelanjutan” yang diprakarsai oleh Energi Institute for Transition (EITS) di jakarta Rabu (5/6).
Hal serupa juga di ungkapkan oleh Vice President Sustainability Program, Rating & Engagement PT Pertamina (Persero), Indira Pratyaksa. Ia mengungkapkan bagi Pertamina melakukan dekarbonisasi dan juga menyediakan energy baru dan terbarukan untuk mulai mengganti energy fosil adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi.
“Isu karbonisasi kami pantau secara rutin setiap bulannya dan kami laporkan kepada direksi untuk jadi perhatian bersama karena memang isu ini harus di selesaikan. Yang sudah dilakukan Pertamina untuk meredius emisssion sejak tahun 2010 sudah maksimal, kami optimalkan juga namun targetnya akan terus bertambah karena baru mencapai sekitar 8,5 milian ton co2 ekuivalen,” tuturya.
Ia menegaskan Untuk memastikan sustinible bisa dieksekusi tentu tidak mungkin tanpa pemahaman yang baik, jadi kami berkolaborasi dengan berbagai macam entitas, baik di internal maupun eksternal Pertamina untuk membangun knowledge atas sustainability itu sendiri.
Dikesempatan yang sama Chief Executive Officer (CEO) Pertamina NRE, Jhon Eusebius Iwan Anis mengatakan, saat ini masyarakat dua tengah berada di masa transisi energy dimana harus tetap menggunakan energy yang ada yang jumlahnya terus meningkat tetapai harus dengan di dekarbonisasi.
“Jadi energi fosil yang ada harus di dekarbonisasi, dengan folume bertambah namun dikurangi karbonnya. Di sisi lain kita mulai mengurangi peran dari energy fosil ini dengan energy baru dan terbarukan,” ujarnya.
Jhon mengungkapkan, transisi dengan dekarbonisasi dan engery baru dan terbarukan harus dilakukan secara sikron dan pararel dengan baik sehingga tidak ada hambatan terutama pada ketahanan energy nasional.