Telegraf – Dalam rangka mendorong penerapan manajemen risiko siber pada industri perasuransian di Indonesia yang dilandasi oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-bank. Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menggelar acara seminar Manajemen Risiko dengan tema “Membangun Ketahanan Siber di Industri Asuransi Syariah”.
Ketua AASI, Rudy Kamdani menyampaikan bahwa perkembangan teknologi digital yang kian pesat tentunya memberikan manfaat dan kenyamanan bagi nasabah melalui layanan yang lebih cepat dan mudah dilakukan. Namun, perkembangan pesat ini juga membawa celah-celah yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita sebagai pelaku industri untuk memperketat cybersecurity baik dari segi tata kelola, manajemen risiko, sosialisasi kepada pihak internal dan internal maupun dari sisi penerapan teknologinya.
“AASI mendukung, mendorong, dan membantu perusahaan angota untuk menerapkan serta meningkatkan perlindungan data pribadi. Tahun 2023 kita telah lalui dengan berbagai terpaan tantangan serta rintangan, dan sudah semestinya harus diapresiasi. Namun, di tahun 2024 ini, tentunya level tantangan juga rintangan akan berbeda dan sangat mungkin meningkat. Industri perasuransian syariah perlu menjaga ghirah dan terus meningkatkan kinerja agar dapat memenuhi ekspetasi dan menjaga kepercayaan publik di tengah tantangan yang kian kompleks,” ungkap Rudi dalam kata sambutannya.
Dikesempatan yang sama Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Perekonomian Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Drs. Slamet Aji Pamungkas., M.Eng yang mengangkat tema Membangung Ketahanan Siber di Industri Asuransi Syariah: Kesadaran dan Kepedulian Keamanan Siber Menuju Ekonomi Digital.
Dalam pemaparannya Slamet menyampaikan bahwa kejahatan siber saat ini sudah menjadi tantangan di era transformasi digital. Ia menambahkan bahwa pada tahun 2023 ada lima bentuk ancaman yang terjadi.
“Lima acaman tersebut adalah Ransomware yang memanfaatkan celah keamanan, Advance Persistent Threat yang diprediksi akan selalu bertambah, Kebocoran data, Web Defacement, serta Phising yang memanfaatkan rendahnya literasi keamanan digital,” ungkap alumni Toyohashi Universty Jepang ini.