Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa, artinya berbeda-beda namun satu jua tiada kewajiban/loyalitas mendua. Berasal dari Mpu Tantular sebagaimana termuat dari Kakawin Sutasoma, adalah embrio nasionalisme Indonesia. Mpu Tantular hidup di abad 14 pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ia keponakan Sang Raja. ‘Tantular’ sendiri berarti ‘teguh’, tidak mudah dipengaruhi. Bhinneka Tunggal Ika menjadi motto Republik Indonesia, Tan Hanna Dharma Mangrwa ditetapkan Bung Karno menjadi motto Lemhannas.
Pancasila adalah common denominator kebangsaan Indonesia. Yaitu ‘penyebut yang sama’ bagi pecahan-pecahan yang berbeda, yang mentransformasi kebhinnekaan menjadi ketunggalikaan. Tentu tanpa masing-masing yang bhinneka itu kehilangan keunggulan dan keindahan khasnya.
Jadi Pancasila adalah ‘penyebut’ yang sama bagi multietnisitas dan multikulturalitas Indonesia. Ibarat 1/2 tidak akan terjumlahkan dengan 1/3 dan 1/4 manakalah ketiganya tidak tertransformasikan dalam penyebut yang sama: 1/2 menjadi 6/12, 1/3 menjadi 4/12 dan 1/4 menjadi 3/12. Tanpa ruh atau penyebut yang sama, artinya tanpa ‘rasa bersama’, maka (istilah Bung Hatta, 1932) persatuan hanya akan menjadi persatean.
Pancasila yang dilahirkan pada 1 Juni 1945, dengan mufakat bersama menjadi rumusan Pancasila seperti pada Pembukaan UUD 1945, kita terima sebagai Dasar Negara dan sebagai Weltanschauung (pandangan hidup) bangsa. Maka jelaslah bahwa Pancasila bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan ‘asas tunggal’, yang bagi masyarakat kita yang multietnikal dan multikultural penuh keanekaragaman ini, merupakan ‘asas bersama’.
Pancasila mengubah divergensi mindset menjadi konvergensi, mengubah perselisihan dan pertentangan menjadi kerukunan dan kedamaian. Mengubah eksklusivisme kelompok menjadi ko-eksistensi, mengubah potensi kekerasan kolektif SARA menjadi toleransi dan solidaritas. Sehingga Pancasila menjadi legitimasi keberadaan Indonesia yang utuh bersatu. Tiada lagi loyalitas yang mangrwa atau mendua, loyalitas nasional hanya tunggal kepada satu Ibu Pertiwi, Indonesia.
Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ dan ‘asas bersama’ ini tidak saja merupakan tuntutan ideologis tetapi juga merupakan tuntutan budaya. Lalu sampai berapa jauh penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran nasional kita mau dan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan ideologis dan budaya ini?
Sekolah-sekolah termasuk perguruan-perguruan tinggi kita, baik yang negeri maupun yang swasta, semua berdiri melalui pengesahan dari pemerintah. Maka sudah selayaknya bahwa setiap sekolah dan perguruan tinggi kita diwajibkan mengajarkan penghayatan dan pemahaman Pancasila. Khususnya di perguruan-perguruan tinggi, masing-masing statutanya harus menegaskan Pancasila sebagai filsafat dasar pendidikan dan pengajarannya. Sekarang masih banyak ditemui, bahkan di salah satu universitas negeri di Jakarta, statutanya hanya menyebut Pancasila pada konsiderannya, tidak substantif pada batang tubuhnya.
Tidak salah kita bertanya mengenai komitmen kita pada Pancasila dalam pendidikan nasional kita, terutama pada perguruan-perguruan tinggi kita. Tentu tidak salah di perguruan-perguruan tinggi kita memiliki Pusat Studi Islam, Pusat Studi Jepang, Pusat Studi Jerman, Pusat Studi Korea, dan seterusnya. Tetapi tentulah keliru tidak ada Pusat Studi Pancasila (sebagaimana ada di UGM dan sedikit lainnya).
Kita bicara Pancasila, kita peringati setiap 1 Juni lahirnya Pancasila yang menjadi Dasar Negara dan Filsafat Bangsa. Tetapi hampir-hampir tidak ada di sekolah-sekolah dan kampuskampus kita matapelajaran atau matakuliah Ekonomi Pancasila. Lebih secara menyeluruh yang diajarkan adalah ekonomi neoliberal (yang teknis akademis kita sebut ilmu ekonomi neoklasikal main-stream yang liberal-kapitalistik) hampir tanpa pengecualian.
Sekadar catatan pinggir: praktik ekonomi Indonesia tidak sesuai dengan Ekonomi Pancasila sebagaimana antara lain dikemukakan oleh tokoh nasional Mohammad Hatta (dengan Pasal 33 UUD45-nya) dan tokoh kampus Mubyarto.
Lebih mengerikan lagi mendengarkan ‘sumpah sarjana’ baru pada hari wisuda, yang dibacakan di depan senat universitas, lebih mengutamakan (euphemistic) loyal kepada Almamater daripada loyal kepada Pancasila. Kita patut tersentuh hati, di sekolah-sekolah Gandhi Memorial Schools, para murid pada hari wisuda mereka, diberikan ijazahnya hanya setelah bersumpah (take oath) untuk loyal kepada Pancasila. Ketika saya membagikan ijazah kepada mereka, tidak tertahan air-mata saya mendengar sumpah setia Pancasila itu.
Pancasila kita peringati setiap hari lahirnya, tetapi Pancasila kita abaikan juga. Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila. Dirgahayu Indonesia.
—————————————–
Oleh : Sri-Edi Swasono. Guru Besar UI dan Ketum Majelis Luhur Tamansiswa.