Marsekal Agus “Dingo” Pilot Multi Talenta Jago Atasi Krisis

Oleh : Edo W.


Telepreson – Marsekal Agus “Dingo” Supriatna adalah salah satu sosok pilot jet tempur multi talenta dan legendaris yang pernah dimiliki Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU).


Selain kemahiran dan pengalaman menerbangkan berbagai jenis jet tempur, pria yang pernah ikut Advance Weapon Instructor Course F-16 di USA di tahun 1995 ini pernah beberapa kali melewati situasi kritis.

Namun Agus mampu menghadapi batas limit dengan tenang dan cerdas mencari jalan keluarnya. Berikut kisah mantan orang nomor satu di TNI AU itu sebagaimana dikutip dari Buku “Dingo” Menembus Limit Angkasa Biografi KSAU Marsekal Agus Supriatna.

Marsekal Agus Supriatna adalah Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) era 2015-2016. Pemilik nama panggilan “Dingo” sebagai pilot tim Aerobatik Elang Biru yang legendaris itu, syarat pengalaman dan ilmu dalam bidang kedirgantaraan. Semasa meniti karir di prajurit TNI-AU, ia adalah salah satu pilot handal. Agus termasuk salah satu pilot yang punya talenta menerbangkan berbagai tipe pesawat, mulai A-4 Skyhawk, F-5 Tiger dan F-16 Fighting Falcon.

Semasa menjadi pilot A-4 Skyhawk, Agus punya pengalaman yang tak terlupakan. Peristiwa itu terjadi tahun 1986 kala ia masih berpangkat letnan dua. Saat itu ia harus mengalami situasi krisis yang hampir merenggut nyawanya ketika menerbangkan pesawat A-4 Skyhawk.

Insiden belly landing tahun 1986 merupakan momen yang tidak bisa hilang dari benak Marsekal TNI Agus Supriatna. Inilah peristiwa itu yang akan selalu dikenangnya sebagai batas kehidupan.

Suatu siang, Agus yang memiliki nama panggilan “Thunder-73” menerbangkan pesawat A-4 Skyhawk di Madiun, Jawa Timur.

Ketika hendak mendarat, ia mendapatkan peringatan lewat radio bahwa landing gear sebelah kiri pesawatnya hilang. Artinya mesin otomatis roda pesawat tidak berfungsi.

Setelah dia cek ternyata benar. Berkali-kali ia mencoba memencet tombol darurat, tetapi roda pesawat tidak kunjung terbuka.

“Komandan Lanud saat itu, FX Suyitno, lalu memberi saya perintah, “Agus, kamu sekarang ke selatan. Di sana ada runway yang sudah clear. Tinggalkan pesawat (eject)’,” kenang Agus dalam sambutan acara peluncuran buku.

Agus menolak untuk meninggalkan pesawat. Ia tidak mau melakukan hal yang sama seperti tahun 1983, di mana kaki kanannya patah karena melakukan eject.

Dengan lantang, Agus mengatakan kepada Komandan Lanud bahwa dia akan melakukan belly landing.

Belly landing merupakan teknik pendaratan pesawat dalam keadaan darurat tanpa menggunakan roda. Mendengar itu, sang komandan marah.

“Danlanud marahin saya. Dia bilang, ‘Kamu itu tahu apa enggak bahayanya kalau belly landing? Kamu landing kasar sedikit saja, meledak. Mati kamu. Tapi saya jawab, ‘Siap, tidak masalah. Saya akan tetap belly landing’,” cerita Agus.

“Danlanud juga sempat tanya, ‘Kamu tahu dari mana cara belly landing? Memang sudah pernah lihat?’ Saya jawab, ‘Di film, Komandan’,” lanjut dia.

Meski dimarahi sedemikian rupa, Agus tidak mengendurkan niat. Dia tetap yakin bisa mendarat darurat dengan selamat.

Setelah menenangkan diri, Agus memutar-mutarkan pesawatnya di udara sampai bahan bakarnya nyaris habis. Ia memperkirakan, peluang pesawat meledak atau terbakar semakin kecil jika bahan bakar pesawat habis.

Setelah indikator bahan bakar menunjukkan batas kuning, Agus bersiap mendarat darurat di runway yang telah dipersiapkan.

“Saat tinggal 30 second bahan bakar akan habis, saya landing. Saya sempat mikir, kok ini lama sekali, saya lihat spion ada percikan api. Ternyata engine-nya mati karena bahan bakar habis, lalu pesawat berhenti,” ujar Agus.

Pendaratan darurat itu akhirnya berhasil. “Thunder-73” selamat dari maut. Agus membuka kanopi pesawat dan turun tanpa cedera.

Sang komandan yang tadinya marah berubah jadi bangga. Agus dipeluk dan kepalanya diusap-usap oleh sang komandan.

Para senior lainnya pun demikian. Oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara kala itu, Marsekal TNI Oetomo, Agus diikutkan menonton airshow di luar negeri sebagai hadiah.

Kini, 30 tahun berlalu, ia berada di puncak tertinggi kepangkatan TNI. Ia menganggap momen itu sebagai bentuk bahwa dirinya mampu menembus batas.

“Saya pernah baca tulisan orang China tahun 1841. Manusia itu sudah ada jalannya masing-masing. Tinggal manusia menjalankan saja. Kalau menjalankannya begini, akan ke arah sini, kalau menjalankannya bagaimana, akan ke arah sana. Makanya, belly landing itu ibarat limit di dalam hidup saya,” ujar mantan anggota tim Aerobatik F-16 TNI AU “Elang Biru” di tahun 1996 ini.

Sepanjang karir militernya, Agus memang pilot yang cermat dan penuh perhitungan saat mengambil keputusan. Ia begitu berpengalaman karena mengikuti sejumlah pendidikan spesialisasi di bidang penerbangan jet tempur. Ia pernah mengikuti Officer Exchance di Jepang (1994).

Kemudian Agus pernah menjadi anggota tim Aerobatik F-16 TNI AU “Elang Biru” (1996), Safety Seminar di Swiss (2004), Observer latihan Red Flag di Alaska USA (2011), Ketua Delegasi Percepatan pengiriman pesawat Sukhoi SU/30 tahap ke-3 terakhir (2012/2013), Wasrik Athan RI di AS, Brazil, Penmil PTR New York AS (Mei 2014). (Edi Winarto/berbagai sumber)


Lainnya Dari Telegraf


 

Copyright © 2024 Telegraf. KBI Media. All Rights Reserved. Telegraf may receive compensation for some links to products and services on this website. Offers may be subject to change without notice. 

Telenetwork

Kawat Berita Indonesia

close